Simbol Kereta, Dunia Magis, dan Sejarah Indonesia
Kisah dalam novel ini mencoba merangkum masa-masa penting yang ada dalam sejarah Indonesia, namun dalam bingkai cerita yang tetap berfokus p...
Kisah dalam novel ini mencoba merangkum masa-masa penting yang ada dalam sejarah Indonesia, namun dalam bingkai cerita yang tetap berfokus pada Lembu.
SEKILAS tampak seperti memasuki dunia Salman Rushdie dalam Midnight’s Children, sesekali terlihat seperti dunia Ben Okri dalam The Famished Road. Atau bisa juga mayapada yang dihadirkan Gunter Grass dalam The Tin Drum.
Seperti itulah kesan singkat saya saat membaca karya Zaky Yamani yang berjudul Kereta Semar Lembu yang di tahun 2021 meraih juara pertama dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Tiga karya pertama yang saya sebutkan memiliki satu benang merah dengan menghadirkan tokoh utama anak-anak yang memiliki dunia sendiri dengan balutan realisme magis.
Sedangkan pada novel Zaky Yamani, tokoh utama di bagian awal digambarkan sebagai seorang anak kecil yang dalam masa pertumbuhannya mampu melihat dunia lain, ditambah lagi penampakan fisiknya tidak bergantung pada usia yang menua. Novel ini membangun dunia magisnya sendiri dengan mengambil titik pusat stasiun sebagai sumbu cerita.
Cerita bermula dari Lembu, si tokoh utama yang mendapat panggilan setelah terperangkap dalam dunia arwah selama lima puluh tahun. Di dunia itu, seluruh arwah yang tidak dikuburkan dengan baik akan terperangkap dan menjalani tahun-tahun yang panjang dan tak berujung. Kecuali, ada nasib baik yang tiba-tiba datang seperti yang dialami si tokoh utama dalam novel ini.
Demi mengakhiri nasib buruknya, setiap arwah yang terbebas kemudian diminta untuk menceritakan kisah hidupnya. Dan, seperti itulah cerita dalam novel ini bergerak dari satu masa ke masa lainnya.
Membaca karya Zaky Yamani juga bisa menjadi perjalanan yang berwarna dan penuh kemungkinan. Novel ini bukanlah karya pertamanya, melainkan pengembangan dari sejumlah karya yang telah dilahirkan sebelumnya.
Namun, yang menjadi kunci dari cerita dalam novelnya kali ini adalah makna perjalanan yang secara langsung disertai dengan simbol kereta dengan disertai kisah-kisah yang dikemas rapi. Dari awal, penulis mencoba menghadirkan keragaman yang coba diperlihatkan saat Lembu menyapa para arwah. ”Aku ingin menyapa kawan-kawanku yang dibunuh tahun 1965, adakah di sini?” (halaman 24).
Selanjutnya, Lembu menyapa berbagai arwah dari beberapa masa, mulai di masa Perang Diponegoro, masa Kerajaan Demak, Majapahit, Sultan Agung, Singasari, hingga masa-masa sebelumnya. Di akhir, penulis juga menyebutkan arwah-arwah yang mati di era Soeharto. Tentu ini bisa jadi sindiran sekaligus menggambarkan betapa banyak orang yang hilang dan melepas nyawa dengan cara yang tidak semestinya.
Sejarah Hidup dan Kereta
Kisah dalam novel ini mencoba merangkum masa-masa penting yang ada dalam sejarah Indonesia, namun dalam bingkai cerita yang tetap berfokus pada Lembu. Mulai sejak diceritakannya Gubernur Jenderal Baron Sloet van den Beele, sosok yang berperan penting dalam hadirnya kereta api di Indonesia.
Kita bisa melihat kemampuan penulis untuk menjalin pertautan antara fiksi dan nonfiksi hingga cerita mengalir dengan kuat. Penulis juga berupaya untuk menggambarkan bagaimana para buruh cangkul hidup dan menjalani hari di sekitar rel kereta dengan berbagai masalah sosial yang ada.
Sejak kelahiran Lembu, dunia tokoh utama telah memasuki dunia magis dengan kerincingan ajaib yang ada pada dirinya. Si tokoh utama ini juga pada akhirnya tidak mampu jauh dari area stasiun atau kereta. Namun, itu semua tidak terlepas dari peran kereta dalam cerita. Kereta yang sejak semula menjadi bagian cerita bisa juga menjadi linimasa yang memperlihatkan berbagai peristiwa sejarah di Indonesia. Ada masa ketika Belanda berkuasa, lalu kedatangan Jepang hingga upaya mencapai kemerdekaan.
Perkembangan kereta juga dimunculkan dengan menceritakan rute atau lintasan yang terus dikembangkan pada masa itu. Setiap perkembangan lintasan rute itu pula, Lembu menjalani hari dan kisahnya yang ganjil. Kondisi psikis Lembu tampak seperti pecahan-pecahan sejarah yang dirangkai dan disatukan, namun hal itu juga yang memberi ruang penafsiran atas jalan hidup yang dia alami.
Psikis Lembu dan Tokoh Wayang
Pada perkembangan psikis tokoh Lembu, penulis menggunakan siasat yang menarik dengan menghadirkan empat tokoh wayang. Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng hadir menemani perkembangan tokoh Lembu.
Jika ditelaah lebih jauh, tiap karakter wayang punya peran di setiap alur cerita yang dialami Lembu. Di saat terakhir masa hidupnya, tokoh wayang yang bertugas memberikan syarat dan potongan ramalan yang membuat cerita seperti teka-teki yang butuh untuk lekas dipecahkan.
Dari kehadiran tokoh wayang ini, tokoh ibu Lembu dan salah seorang pendampingnya, yang sekaligus menjadi istri Lembu, mendapatkan kekuatan dan keberkahan. Kehidupannya berubah berkat kekuatan dan daya magis yang dimiliki Lembu.
Gambaran ini juga memperlihatkan betapa pengaruh kepercayaan terhadap hal-hal berbau mistis begitu erat dengan kehidupan masyarakat. Orang-orang datang ke ibu Lembu dan meminta berkah sampai akhirnya kebaikan-kebaikan tersebut muncul.
Semula ibu Lembu percaya itu berkat tokoh-tokoh wayang tersebut, namun beberapa kali Semar menyebut bahwa itu bukan ulahnya. Kebiasaan bergantung pada hal-hal di luar nalar tampak menjadi gambaran yang begitu mudah ditemui.
Barangkali, ruang lingkup kisah dalam masyarakat kita memang kaya dengan fenomena demikian. Pendekatan realisme magis memungkinkan kita untuk menggali batas-batas tersebut.
Namun, menggunakan pendekatan itu dalam menulis cerita bukanlah hal yang sederhana. Imajinasi penulis ditambah riset yang mumpuni serta keterampilan menulis akan menjadi penentu berhasil atau tidaknya. Dalam novel Kereta Semar Lembu, kita bisa melihat kepiawaian penulis untuk memangkas segala keraguan kita untuk mengatakan, novel ini bercerita dengan baik dan menjanjikan. (*)
*Pertama kali dimuat di Jawa Pos, 18 Desember 2022
Post a Comment: