Saat Saya Tidak Sedang Ingin Melakukan Apa-Apa
Lampu dipadamkan. Saya menikmati suara malam di ruangan ini. Sesekali tetes air dari kran terdengar. Saya memperhatikan bayangan-bayangan yang tersisa. Buku-buku di atas meja berantakan. Ada tiga tumpukan buku yang sedang saya baca bersamaan. Dua buku non-fiksi dan satu buah buku fiksi. Akhir-akhir ini saya terus membaca dengan lambat dan pelan. Sialnya lagi, waktu saya banyak habis ditelan game yang ada di laptop atau ponsel. Kabel-kabel yang saling mengikat, terjaga di samping tumpukan tiga buku itu. Sejak dua hari lalu saya ingin merapikan kabel-kabel itu, tapi saya lebih memilih membiarkannya begitu saja dan melakukan hal-hal yang tidak penting.
Sebelum lampu dipadamkan, saya membuang sampah dan berjalan kembali sembari memikirkan rencana-rencana. Tahun-tahun kemarin, saya tidak begitu peduli dengan rencana. Tapi belakangan, saya mulai disibukkan dengan pikiran saya sendiri. Ini mungkin tampak seperti overthinking, tapi sebenarnya tidak. Setiap kali saya membuat rencana, peluang keberhasilannya bisa lebih tinggi dari yang kuduga. Anehnya, saya tidak begitu senang dengan hasil itu. Entah sejak kapan saya menyukai ketidakpastian atau kejutan-kejutan yang belum pernah kupikirkan sebelumnya.
Sumber cahaya yang tersisa berasal dari layar laptop dan lampu baca yang kubeli di toko online. Di tengah gelapnya suasana ruangan, saya rasa kedua mata saya bekerja lebih keras dari biasanya. Sesekali saya menyalakan layar ponsel dan membuka instagram atau twitter. Saya juga punya tiktok sebenarnya, terkadang saya juga membukanya di malam-malam seperti ini. Barulah ketika semua rencana hari ini selesai, saya tiba-tiba kepikiran dengan blog lama ini. Terakhir kali saya menulis sudah terbilang cukup lama, tulisan terakhir saya posting di tahun 2022.
Diam-diam saya selalu punya keinginan untuk aktif kembali menulis di blog ini. Dulu, saya menulis apa saja, seolah saya sedang berbicara dengan seseorang yang siap mendengar apa saja yang keluar dari mulut ini. Semua itu bolah dibilang rencana, hingga di fase tertentu saya merasa tidak mampu dan menyalahkan rencana sendiri. Saya berharap bisa melakukan ini tanpa rencana sama sekali. Saya menulis karena memang ingin menulis, bukan perkara mewujudkan rencana semata. Berulang-ulang saya menghadapi kondisi itu, hingga pada akhirnya, tidak ada hasil sama sekali.
Penting untuk berani tidak melakukan apa-apa. Pada tahap itu, kita mulai merasa semua lebih lepas dan bebas. Di tengah kesibukan dan tuntutan kerjaan, semakin banyak hal-hal yang ingin kita tolak tapi tuntutan membuat kita tak punya pilihan.
Saya melihat jam digital yang juga punya cahaya. Saya juga masih mengingat buku fisika yang saya baca sore tadi, tentang bagaimana cahaya di matahari butuh waktu delapan menit untuk tiba di Bumi. Saya juga mengingat cahaya pagi yang membuatku bangun lebih cepat dari biasanya. Saya tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan untuk membenturkan rencana yang gagal dan berhasil. Rasa-rasanya, bagi saya yang terbiasa melupakan rencana tapi percaya rencana dapat membantu, situasi ini bukan sesuatu yang menguntungkan. Ini buang-buang waktu, tapi itu jika saya mengamini ungkapan waktu adalah uang. Waktu adalah waktu, dan itu membuat saya bebas melakukan apa saja.
Post a Comment: