Selepas Membaca Manuskrip Baru Seorang Penyair

 

Beberapa pekan lalu, seorang kawan—yang boleh dibilang sudah jadi penyair ternama— mengirimkan saya sebuah manuskrip. Dia meminta saya membacanya, lalu setelah itu kami berjanji untuk bertemu dan berdiskusi. 


Sayangnya, di hari pertemuan yang kami janjikan, saya belum sempat tuntas membaca puisi-puisinya. Walhasil, kami membicarakan hal lain di luar puisi.


Saat masuk di kelas Bahasa Indonesia sewaktu masih sekolah dasar, kita dengan mudah mendengar dan membaca puisi-puisi Chairil Anwar. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi” seperti ungkapan yang terus menerus lantang terdengar, bahkan bertahan lama jauh setelah hari pertama kita mendengar pernyataan itu. Saya paham dan kagum pada orang-orang yang memilih jalan menjadi seorang penyair. Meski belakangan saya sadar, bahwa tidak semua orang mampu atau bertahan memilih jalan itu.


Kawan saya, merasa beruntung lantaran berhasil bertahan dan mencapai titik di mana dia bisa memantapkan pilihannya hidup sebagai seorang penyair. Hari itu, kami membincangkan beberapa privilege dan ekosistem dunia kepenulisan yang terbilang mengkhawatirkan. 


Kawan saya itu, menceritakan satu fakta yang menarik, bahwa novel yang ditulis oleh kawan penulis asal kota Makassar, sebagian besar hanya laku terjual di Makassar juga. Di pulau Jawa dan pulau lainnya, penjualannya menyedihkan.


Istilah “pusat” dan “daerah” kadang masih menjadi bias yang sulit disadari oleh beberapa penulis. Beberapa bahkan berkeras menolak untuk membahas masalah ini dan menganggapnya baik-baik saja. 


Sayangnya, beberapa penulis yang tidak berasal dari “pusat” kerap kali menghadapi kondisi yang cukup menyulitkan. Penulis di luar pusat, terpaksa mencari legitimasi dari pusat untuk mendapatkan nilai tawar yang mungkin akan menjanjikan. Meski hasilnya tidak selalu menggembirakan.  


Belum lagi masalah akses buku yang tidak merata. Kemarin, saya juga sempat membaca info ini di postingan salah satu penerbit indie, bahwa 90% atau sekitar 600 dari 690 penerbit di Indonesia berada di Pulau Jawa. Itu semua pada akhirnya, membuat distribusi buku ke luar Pulau Jawa akan berat di ongkos. Harga buku di luar Pulau Jawa lebih mahal dan tidak semua buku disebar ke seluruh Indonesia. 


Berdasarkan pengalaman saya sendiri bersama dengan seorang sahabat, saat mendirikan serta menjalankan sebuah penerbit yang berada di luar Pulau Jawa, kami harus menerima kenyataan pahit. Bahwa situasi ini memberi kesulitan tersediri untuk mendistribusikan buku-buku terbitan kami. Ongkos kirim menjadi masalah utama dan jejaring yang belum kuat membuat kami mesti bekerja lebih keras lagi. Semakin kami sering mengeluh, orang-orang yang tidak mampu merasakan kesulitan ini akan terus menganggap kami banyak protes dan malas bekerja.


Di sisi lain, saat penulis mencoba untuk produktif menulis, beberapa orang akan memberi sentimen negatif. Menganggap kualitas karyanya menurun atau semata-mata mengejar cuan. Hal ini saya rasakan sendiri, saat baru-baru ini menerbitkan kumpulan cerpen.


Salah seorang teman mengatakan kepada saya “kau terlalu produktif! kau sedang tak punya uangkah?”


Bagi saya, yang siap memantapkan diri untuk berprofesi sebagai penulis, kemudian mendapat pernyataan seperti itu, sulit untuk digambarkan. Antara sedih dan lucu, antara marah dan kecewa, dan beberapa emosi lainnya bercampur. 


Saya sendiri tidak merasa apa yang saya lakukan adalah sesuatu yang produktif, segala upaya tersebut adalah langkah-langkah untuk mencoba memahami jalan yang harus dilalui seorang penulis. Bahwa layaknya pekerjaan di luar menulis, butuh kedisiplinan dan usaha untuk tetap konsisten.


Pada akhirnya, kami sadar bahwa menjadi penulis atau memilih profesi sebagai penulis, masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat kita.


Namun, kawan saya yang penyair itu, punya tekad untuk membuktikan pada orang-orang yang kelak ingin jadi menulis, bahwa hidup sebagai penulis tidak akan seburuk dengan apa yang dia rasakan dulu atau hari ini. Sudah tugas seorang penulis untuk memperlihatkan bahwa profesi penulis bisa menjadi sesuatu yang menjanjikan dan menghadapi ekosistem yang kurang mendukung terciptanya hal tersebut, butuh langkah taktis yang terukur.


Secara kebetulan, saya menuntaskan manuskrip itu di Hari Puisi Nasional. Selepas membaca manuskrip baru kawan saya yang penyair, saya kemudian mengingat sejumlah poin pembicaraan kami hingga memilih untuk menuliskannya. Beberapa hal yang kami bicarakan seperti mengulang semangat Chairil Anwar, yang hari kematiannya kemudian dinobatkan sebagai Hari Puisi Nasional. 


Bagi Chairil, dia selalu ingin menjadi manusia yang merdeka, setara, dan bebas. Saat seorang kawan ingin menjadi penyair atau penulis, rasa-rasanya semangat itu perlu untuk selalu dikenang dan diresapi. Bahwa hidup yang kejam bagaimana pun tidak selamanya mampu meruntuhkan rencana-rencana kita, termasuk menjadi penulis atau penyair. 


Puisi selalu memberi dan membuka beragam kemungkinan. Meski pada kenyataannya, hari ini penjualan buku masih kurang memuaskan, pembajakan buku kian merugikan hingga jumlah yang sulit ditaksir, dan pemerintah belum menyiapkan strategi khusus untuk memajukan dunia literasi hingga mengatasi sejumlah permasalahan di atas. Semoga semua lekas mendapat titik terang dan kita tak sekadar berjalan di terowongan gelap tak berujung.


Selamat Hari Puisi Nasional. Semoga kita bisa menjalankan ibadah puisi di bulan puasa yang khidmat ini, terima kasih kepada seluruh penyair, dulu, kini, dan yang nanti.

Halo, Saya Wawan Kurniawan. Terima kasih telah berkunjung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar