Sejumlah Siasat Menyelamatkan Kewarasan Selama Pandemi Covid-19
Pandemic (pandemi), dinobatkan sebagai Merriam-Webster’s Word of the Year 2020. Kata pandemi menjadi bayang-bayang kelam, yang menemani kita melalui tahun 2020 dengan cara yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Hampir sebagian besar dari kita harus merasakan efek dari pandemi ini.
Slavoj Žiźek, dalam bukunya yang berjudul Pandemic! Covid-19 Shakes The World,
menjelaskan bahwa kini kita terjebak dalam tiga krisis, yaitu kesehatan, ekonomi,
dan psikologis. Saya sendiri mungkin tidak akan bisa menjelaskan ketiga krisis
itu dengan baik. Tapi sebagaimana halnya yang terjadi, semua itu terasa nyata
bagi saya dan mungkin sebagian besar orang pun dengan mudah merasakannya.
Saya mungkin bisa bercerita lebih banyak di masalah
psikologis, tapi tidak dengan dua krisis lainnya. Pengalaman saat pandemi
COVID-19 ini secara tidak langsung membawa perubahan yang cukup signifikan. Terlebih
setelah kasus di Indonesia meningkat drastis hingga pemerintah kalang kabut
mengatur siasat yang kadang terkesan sia-sia.
Seperti halnya pemerintah yang konon selalu berusaha
menyelamatkan kita dari virus ini, kita juga selalu berusaha melakukan sejumlah
hal yang pada akhirnya, hasilnya tak jauh beda dengan pemerintah. Nihil.
Setidaknya, pandemi mengajak kita untuk bisa lebih
pelan dan berhati-hati. Memahami bahwa dunia kadang tidak berbaik hati dengan
rencana. Karena itu, butuh sejumlah siasat menyelamatkan kewarasan di masa sulit seperti ini.
Di awal tahun 2020, saya sempat berencana untuk
kembali melakukan program sosial bersama beberapa kawan, Positive Youth Project. Kami sudah
menjalankannya sejak tahun 2016 hingga 2018, istirahat di tahun 2019, dan
mencoba merancangnya kembali di awal tahun 2020, tapi sayangnya harus tertunda
kembali.
Hal baik di awal tahun kemarin datang dan memberi
sedikit harapan. Salah satu penerbit berkabar jika naskah yang kukirim beberapa
bulan sebelumnya diterima dan siap diterbitkan dalam waktu dekat. Meski ini
menggembirakan, saya harus menghadapi dilema lantaran beratnya menerbitkan buku
di masa pandemi.
Saya berharap buku saya dibeli dan dibaca, tapi di
satu sisi, saya paham jika kondisi ekonomi beberapa kawan saya tidak sedang
baik-baik saja. Perasaan ini pada akhirnya berubah menjadi tulisan curhat yang
juga saya tayangkan di blog ini.
Beruntungnya, saya dengan kepribadian yang lebih
senang dengan suasana rumah, sendiri, dan menghindari keramaian, membuat saya
cukup betah dengan anjuran pemerintah untuk tetap berada di rumah. Pada
mulanya, saya berpikir akan menghabiskannya dengan membaca lebih banyak buku,
juga menulis atau menerjemahkan beberapa karya kesayangan.
Tapi, sekali lagi, saya memahami dunia kadang tidak
berbaik hati dengan rencana, terlebih di masa pandemi. Saya sadar jika tidak
semua orang bisa betah dan bertahan mengurung diri di dalam rumah dalam waktu
yang tak pasti.
Sejak setahun yang lalu, setelah menikah dan menetap
di rumah yang penghuninya; saya dan istri, ditambah tiga ekor kucing, kami juga
butuh adaptasi. Dan tanpa saya sadari, pandemi membuat saya lebih banyak di
depan laptop dan nyaris terasa ada tapi tidak ada bagi istri dan
kucing-kucingnya. Saya nyaris seperti guci di sudut ruangan rumah.
Hingga di suatu pagi, istri saya protes dan saya
merasa bersalah. Sebisa mungkin saya berbenah, saya selalu mengingat pesan Gabo,
kurang lebih seperti ini: “Pernikahan adalah menjaga stabilitas. Pernikahan
yang baik bukanlah kebahagiaan melainkan stabilitas.” Kira-kira singkatnya
seperti itulah.
Dan demi menjaga stabilitas saya belajar untuk menahan
diri untuk tidak egois dan berlama-lama di depan laptop. Salah satu caranya
adalah menonton drama Korea bersama. Waktu itu kami penasaran dengan drama Korea
yang berjudul, Start-Up yang tengah banyak dibicarakan.
Drama Korea terakhir yang saya tamatkan adalah Love
Story in Harvard di tahun 2005, setelahnya saya tidak sempat lagi menonton
drama Korea. Di masa pandemi, kesempatan ini terasa lebih banyak.
Setelah Start-Up berakhir, kami tidak puas dengan
akhir ceritanya. Meski istri saya mendukung Nam Do San, saya mendukung Pak Han,
kami sepakat dua episode terakhir sangatlah berantakan. Kekecawaan itu akhirnya
membawa kami menelusuri siaran Korea berupa variety show yaitu 2 Nights
1 Days, di mana Pak Han menjadi salah satu bintang di acara ragam itu.
Keseruan dan sejumlah game yang menghibur dan membentuk kerjasama di acara ini, seakan membuat saya selalu membayangkan program sosial kami.
Pada akhirnya,
rencana membaca, menulis, juga menerjemahkan, tak sesuai dengan yang
direncanakan, tapi untungnya saya bisa menikmati proses menjaga stabilitas
selama pandemi ini.
Di awal tahun 2021 ini, ketika vaksin COVID-19 mulai memberi harapan bagi kita semua, belum ada jaminan pasti pandemi ini akan lekas berakhir. Sekiranya, vaksin lekas dimaksimalkan dan terus disebarkan lebih cepat dan terarah.
Setelah membaca buku Ten Lessons for a Post-Pandemic World yang
ditulis Fareed Zakaria, kita bisa mulai membayangkan hidup selepas pandemi.
Akan ada banyak yang berubah. Bahkan seperti yang dijelaskan Žiźek dalam
bukunya, dia optimis akan ada perubahan besar setelahnya.
Tanpa melibatkan proses kreatif dan keterampilan
pemecahan masalah yang efektif, dunia akan menjadi terasa berat bahkan berpotensi
lumpuh. Cara pikir yang berbeda dan tak biasa akan bermunculan, sekaligus
memperlihatkan betapa manusia dipenuhi hasrat untuk bertahan dan berkuasa dalam
berbagai situasi.
Sejujurnya, saya pribadi menyimpan ketakutan
tersendiri atas apa yang saya alami selama pandemi. Pengalaman saat pandemi
COVID-19 membuat saya mulai bisa beradaptasi dengan suasana ini, akan sulit
bagi saya untuk melihat dunia setelahnya.
Tapi setidaknya, masa pandemi ini juga mengajarkan
saya bahwa tidak ada situasi yang pasti dan kita harus siap dengan berbagai
kondisi yang akan datang. Belakangan, bersama istri, kami memindahkan beberapa
artikel psikologi ke dalam bentuk video dan upload di Youtube secara rutin.
Jika teman-teman berkenan memberi semangat, silakan bantu subscribe dan like
channel kami ini, IndoPositive – Bahas Psikologi Sehari-Hari.
Sekiranya dengan berbagai pengalaman selama pandemi
ini, kami belajar banyak hal dalam menyikapi situasi, dan pelan-pelan memahami bahwa
dunia kadang berlari, dan kadang melambat seperti siput.
Tulisan ini diikutkan dalam
#TantanganBlogAM2021
Post a Comment: