Green Jobs: Menanti Anak Muda Melawan Sampah





Apa kabar sampah hari ini? Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan data timbunan sampah di Indonesia di 2020 mencapai 67,8 ton. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang kian pesat, fakta itu jelas diperkirakan kelak akan membuat jumlah timbunan sampah terus meningkat.


Menyikapi masalah ini, melalui Peraturan Menteri KLHK Nomor 75 tahun 2019, pemerintah mengatur skema pengurangan sampah produsen selama 10 tahun. Tentu itu bukanlah kepastian mutlak bahwa ini akan berhasil atau tidak, tapi asumsi yang dilakukan pemerintah terbilang rapuh.


Belum lagi jika berhadapan dengan sejumlah prediksi terkait lingkungan hidup kita di masa depan. Misalnya saja penelitian yang dilakukan Dr. Costas Velis asal Universitas Leeds beserta rekannya, bahwa sebanyak 1,3 miliar ton sampah plastik akan mencemari lingkungan pada tahun 2040.


Perhitungan mereka didasari pada pelacakan produksi, penggunaan, dan pembuangan plastik di seluruh dunia. Terbilang mengerikan, tapi seperti itulah faktanya.


Salah satu pemicu meningkatkanya sampah dari masa ke masa adalah kurangnya sistem pengelolaan sampah yang matang. Proses daur ulang sampah juga masih terdengar asing di telinga kita. 


Dari penelitian di atas juga, dijelaskan bahwa sekitar 300 juta ton plastik dapat diproduksi secara global setiap tahun. Sayangnya, dari 300 juta ton plastik itu hanya 10 persen saja yang didaur ulang. Selebihnya akan terbawa ke lautan dan terurai menjadi fragmen kecil dan menuju tempat pembuangan sampah.


Beberapa ahli pun menyebutkan bahwa produksi plastik bertambah dua kali lipat setiap 11 tahun. Tentu ini akan terus menjadi ancaman bagi lingkungan kita nantinya.


David Wallace-Wells dengan sinis menjelaskan kondisi lingkungan kita yang kian parah dalam bukunya yang berjudul Uninhabitable Earth (Bumi yang Tidak Dapat Dihuni). Pengalamannya sebagai seorang jurnalis yang berfokus pada isu perubahan iklim, sains dan teknologi membuat buku ini tampak lengkap sekaligus mengerikan. 


Berkaitan dengan sampah, buku ini juga menjelaskan bahwa limbah manusia akan merusak terumbu karang dan tentu saja berdampak buruk bagi seperempat biota laut, dan penghidupan bagi setengah miliar manusia.


Pada akhirnya, kita tengah berada dalam situasi yang membawa kita sekadar menunggu waktu di mana Bumi meledakkan dirinya dan kita tak lagi bisa apa-apa selain ikut dalam gelombang kehancuran tersebut.


 

Bisakah Green Jobs Jadi Solusi?


Green Jobs menurut United Nations Environment Programme (UNEP), adalah “bekerja di pertanian, manufaktur,  penelitian dan pengembangan  (R & D), kegiatan administrasi, dan layanan yang berkontribusi secara substansial untuk melestarikan atau memulihkan  kualitas lingkungan”


Green Jobs ini dimulai pada tahun 2008, ketika United Nations Environment Programme (UNEP), International Labour Organization (ILO), International Trade Union Confederation (ITUC), International Employers Organization (IEO) bersama-sama meluncurkan Green Jobs. Dengan tujuan untuk membawa transisi yang adil ke ekonomi hijau dengan menyediakan ruang bagi pekerja, pengusaha, dan pemerintah untuk merundingkan kebijakan efektif untuk memberikan kesempatan adil untuk pekerjaan ramah lingkungan.


Salah satu unit kerja di Amerika Serikat, Bureau of Labor Statistics (BLS) membuat kategori dari Green Jobs yang terdiri dari; konservasi air, hutan yang berkelanjutan, bahan bakar nabati, geothermal energy, perbaikan lingkungan, sustainability, auditor energi, daur ulang, kendaraan listrik, tenaga surya, dan tenaga angin. Selain Amerika Serikat, sudah ada beberapa negara yang kemudian sadar dan berhasil menghadirkan Green Jobs bagi masyarakatnya, seperti Australia, Brazil, Cina, Jerman, Jepang, dan beberapa negara lainnya.


Langkah tersebut berhasil membuahkan hasil yang positif bagi lingkungan, terbukti di tahun 2018, Australia mampu menghasilkan 21 persen dari total tenaga dari energi terbarukan dan sektor ini menyumbang lebih dari 20.000 kesempatan pekerjaan. Selain itu, langkah ini membuka banyak peluang lapangan kerja, misalnya saja di Cina, untuk sektor energi terbarukan, mampu menyerap sekitar  2,2 juta tenaga kerja.


Bagaimana dengan Indonesia? Mengingat kondisi yang kian buruk, tentu saja masalah ini penting untuk dipikirkan secara kolektif. Peluang untuk menghadirkan green jobs jelas bukan hal yang mustahil.


Dalam forum Economic and Social Council (ECOSOC) Integration Segment tahun 2015 di gedung Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, Indonesia menyatakan sikap terkait kondisi lingkungan yang ada. Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk memperbanyak green jobs  di semua sektor pekerjaan guna mewujudkan perbangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Terlebih saat itu, Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi emisi gas karbonnya 26% hingga 41% pada tahun 2020.


Hari ini kesadaran akan greenjobs masih terus dikampanyekan. Tentu ini akan menjadi tantangan tersendiri, mengingat keterbatasan informasi yang ada di beberapa tempat. Satu-satunya harapan besar bagi kita dalam memajukan green jobs adalah peran aktif dari para pemuda.


Di tahun 2030-2040, Indonesia juga diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Mengingat bonus demografi yang akan datang, green jobs bisa menjadi peluang kerja yang memiliki masa depan cerah.


Belajar dari beberapa negara yang berhasil mengembangkan green jobs, ditambah dengan berbagai peluang yang ada, tentu Indonesia mampu untuk bergerak dalam membangun Indonesia yang lebih bersih, peduli, dan menjaga lingkungan hidup.


Merujuk pada pembahasan sampah di awal tulisan, masalah sampah menjadi satu dari sekian banyak hal yang bisa dikerjakan dalam pengembangan green jobs.


Anak Muda vs Sampah   




PBB memperkirakan inisiatif pembangunan berkelanjutan dapat menciptakan 60 juta lapangan pekerjaan baru, dengan sektor daur ulang menjadi salah satu dari delapan sektor utama pertumbuhannya.


Bila tidak disiasati, bonus demografi yang akan dihadapi Indonesia dapat berdampak buruk. Kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia dapat memicu masalah baru dan merusak sistem ekonomi kita.


Tingkat daur ulang Amerika Serikat diprediksi mencapai sekitar 75% pada tahun 2030 akan menciptakan 1,1 juta lapangan pekerjaan baru. Ruang ini juga akan menjadi tantangan tersendiri bagi anak muda untuk mengembangkan kreativitas dalam memecahkan persoalan lingkungan. Selain itu, mereka bisa memutuskan langkah-langkah baru yang dapat menciptakan perubahan. Tanpa harus terpaku pada sejumlah pekerjaan konvensional yang ada.


Di beberapa negara Eropa, pekerjaan di sektor daur ulang tumbuh 7% per tahun sejak 2000 sampai 2007 dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini juga dipengaruhi oleh kesadaran yang muncul dari pemerintah beserta masyarakat untuk segera memecahkan masalah sampah yang ada. 


Selain itu, negara-negara di Eropa mampu mendaur ulang 115 juta ton tekstil tambahan dalam proses tersebut, termasuk kayu, logam besi dan non-besi, plastik, kertas, limbah biologis, dan gelas. Mendaur ulang jumlah limbah dan material ini dapat menciptakan 160.900 pekerjaan tidak langsung dan 80.400 pekerjaan lain. Oleh karena itu, total potensi lebih dari 563.000 lapangan pekerjaan.


Di Kanada, Perdana Menteri Justin Trudeau memperlihatkan dukungan penuh terhadap anak muda untuk bergerak dan memulai green jobs. Bahkan di masa pandemi, green jobs menjadi solusi pemerintah Kanada untuk menyelamatkan anak muda dalam situasi buruknya saat memikirkan masa depan yang akan tiba.


Pemerintah mengumumkan berbagai kesempatan untuk anak muda agar terlibat dan bekerja di sektor lingkungan. Salah satu programnya yang menarik adalah Pivot 2020, sebuah program yang mempekerjakan 1.200 anak muda di 27 kota untuk mengembangkan database publik yang diinformasikan kepada pemuda untuk membantu perencanaan, organisasi dan pemerintah memasukkan prioritas pemuda ke dalam pemulihan perkotaan pasca pandemi. Ini menjadi langkah awal pemerintah dalam menciptakan kesempatan kerja di berbagai sektor dalam green jobs.


Seperti halnya Kanada atau beberapa negara lainnya yang peduli terhadap isu lingkungan, pemerintah Indonesia sudah sepantasnya memikirkan siasat bagi para pemuda dan mempersiapkan bonus demografi yang akan datang. Dari kebijakan pemerintah Kanada, kita bisa belajar betapa peran anak muda sangat diharapkan dan diperhatikan dengan baik. 


Suara-suara anak muda dan langkah menjaga lingkungan hidup, sebenarnya adalah investasi masa depan yang paling berharga, sayangnya pemerintah kita tidak memikirkan itu dengan sungguh-sungguh. 


Mereka lebih banyak berinvestasi pada kekeliruan dan kepentingan-kepentingan yang egois. Mari menantikan masa ketika anak muda mulai melawan sampah, dan menghidupkan green jobs untuk Indonesia yang lebih bersih.



Halo, Saya Wawan Kurniawan. Terima kasih telah berkunjung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar