Tahun-Tahun Kehilangan dan Sebuah Buku Puisi
Mendengar
kabar anaknya naik jabatan di kantor atau mendapat kenaikan gaji serta berita
serupa lainnya, sepertinya kerap diartikan sebagai kabar bahagia buat orangtua.
Tapi, bagaimana jika anaknya hanya mengirim kabar jikalau tahun ini bukunya
akan terbit?
Tahun
ini jelas terasa berat. Meski ada beberapa orang yang tetap bisa merasakan
kondisi baik-baik saja. Tapi orang-orang di sekitar saya, kebanyakan merasakan
situasi yang sulit dijelaskan. Saya hanya bisa di tahap merasakan, tapi tidak
mampu menjelaskan kerumitan yang masing-masing mereka lalui. Bahkan masalah
saya sendiri kadang tak terjamah akhir-akhir ini. Dan begitulah,
perasaan-perasaan yang kian menyiksa hadir dari waktu ke waktu. Hal-hal sepele
bagi kita, kadang bisa jadi sesuatu yang berarti bagi orang lain, dan begitu
pun sebaliknya. Tanpa ada usaha memahami perasaan-perasaan itu, saya rasa hidup
ini akan terasa hambar.
Meski
terbilang tahun yang berat, tapi saya beruntung bisa menerbitkan sebuah buku
kumpulan puisi. Tentu ada perasaan yang berbeda melihat buku itu terbit di
tengah pandemi.
***
Pembaca
saya sejauh ini adalah orang-orang terdekat, di tengah situasi mereka yang
berat, jelas ini bukan waktu yang tepat untuk membeli sebuah buku puisi. Ditambah
lagi ada juga beberapa orang yang meminta buku itu secara gratis, meski saya
tahu biaya café yang dikeluarkan setiap hari bisa lebih mahal dari harga buku
saya. Tapi seperti itulah realitasnya. Saya juga sempat membagikan beberapa
buku gratis ke orang-orang yang saya rasa punya peran dalam penyelesaian naskah
buku ini, tentu saya ingin memberi lebih banyak, tapi isi dompet saya juga
terbatas. Saya mungkin lebih banyak mengantongi udara dibanding uang.
Pikiran
orang-orang yang tak bisa melihat kesenangan seorang penulis dan kehadiran
buku-buku barunya jelas akan jadi cobaan tersendiri. Semua itu akhirnya
berujung pada permintaan buku gratis. Kita masih sulit melihat perasaan senang
para penulis yang melihat buku-bukunya terbit, diapresiasi, dan dirayakan
dengan berbagai cara.
Bila
belajar dari sejumlah penulis buku puisi, peluang untuk hidup dari hasil
penjualan buku puisi sangatlah kecil. Beruntunglah mereka yang berhasil
mengubah peluang itu. Saya sendiri tidak berharap banyak dari hasil penjualan.
Sebab ada hal-hal lain yang saya temukan setelah buku Museum Kehilangan terbit.
Sesuatu yang lebih bernilai dari harga buku itu sendiri. Karena ini di masa
pandemi dan beberapa teman saya harus mengalami kesulitan ekonomi, ada satu dua
orang yang meminta maaf kepada saya lantaran belum membeli buku Museum
Kehilangan. Saya merasa bersalah dan juga berterima kasih untuk itu. Ada juga
teman yang tidak senang baca puisi, dan tetap membelinya. Ada juga dosen yang
ikut membeli dan berkabar secara langsung.
Beberapa
pengalaman bersama mereka yang mampu melihat kesenangan menerbitkan buku terasa
jauh lebih menyenangkan dan membuat tahun ini bisa saya lewati dengan langkah
yang lebih kuat. Di buku ini juga, saya menemukan pembaca baru yang secara
tidak langsung seperti hadiah bagi saya. Mereka jauh dan tak terjamah, tapi
apresiasi yang mereka berikan bisa tersampaikan. Semua itu jelas mengalahkan
nilai royalti dari buku.
Di
awal saya membuka tulisan ini dengan kabar bahagia tentang orangtua. Saya
paham, jika orangtua saya mendengar kabar saya bekerja di perusahaan atau menjadi
PNS, mereka akan senang. Saya beruntung kedua orangtua saya tidak membebani
harapan itu kepada saya, meski di beberapa masa sulit menjelaskan pilihan ini.
Setiap kali buku saya terbit atau tulisan saya dimuat di surat kabar, ayah saya
akan membacanya. Ibu saya juga akan mencari surat kabar itu dan entah dengan
cara apa atau siasat apa dia menjelaskan kondisi saya di teman atau tetangga
yang tak berhenti berkompetisi dengan pencapaian anak-anaknya.
Di masa pandemi ini—tahun yang penuh kehilangan—sebuah buku puisi
menyelamatkan saya. Tentu ini terdengar aneh, tapi seperti itulah adanya.
2 comments
orang tua yg keren.
ReplySemoga Ainun dan Galang bisa jadi orangtua yang lebih keren lagi. Semoga anaknya tumbuh jadi diri yang sebenarnya dan lepas dari keinginan-keinginan orangtua yang membebani.
Reply