Yang Belum Tersaji dari Nurhady, Apa Lagi?
Satu per satu file yang sedari tadi terbuka saya tutup. Lalu melompat-lompat di beranda facebook dan terhenti saat melihat status terbaru dari Nurhady Sirimorok. Di sana, saya melihat kabar terbaru tentang novel perdana Nurhady yang akan segera beredar. Sejumlah komentar ucapan selamat pun berjatuhan dari banyak orang, belum lagi jumlah like atau love atau apapun namanya.
Dua hari setelah itu, saya kemudian terlempar menuju niatan ini. Rencana untuk mengulas buku yang belum terbit. Tentu tidak bermaksud untuk melakukan spoiler, barangkali ini sebentuk perayaan.
Sebelum saya menulis ini, Aan Mansyur sudah merilis obrolannya bersama Nurhady melalui podcast the biography of my work. Beberapa potongan di wawancara itu mungkin bisa jadi spoiler.
“Yang tersisa dari yang tersisa” bukan kerja biasa. Pengalaman panjang seorang Nurhady dalam urusan desa dan pemuda sudah tidak diragukan lagi. Bahkan, hubungan akrab saya dengan Nurhady dimulai dari masalah pemuda, lebih tepatnya organisasi pemuda. Baru setelah itu, beralih ke urusan buku, penerjemahan, lalu cerita-cerita lainnya. Bahkan ada masa ketika saya melihat Nurhady dan yang terlintas di benak saya adalah desa.
Lantaran teringat cerita serta pengalamannya saat menjadi peneliti desa hingga sekarang. Saya senang sekali mendengar Nurhady bercerita tentang desa, ada gelagat yang khas ditambah dengan beberapa cerita jenaka atau petuah yang sesekali hadir. Misalnya saja pesan seseorang dari suatu desa yang mengatakan, "pohon dengan batang lurus akan cepat ditebang, tapi yang bengkok akan mati dengan sendirinya."
Saya sendiri lahir dan besar di desa, tapi pikiran dan perasaan saya sepertinya diracuni imajinasi perkotaan. Dan bertemu orang seperti Nurhady, membuat saya kadang termenung dan bertanya-tanya, bagaimana semua ini terjadi dan harus berakhir seperti apa?
Ogi, salah satu tokoh dalam novel ini sepertinya akan ikut melempar perasaan itu kepada pembaca. Perasaan yang sulit terjelaskan tentang kondisi desa atau cara kita memandang desa selama ini.
Di beberapa kelas Institut Sastra Makassar (ISM), saya terbilang rutin mengikuti kelas Nurhady, dan diam-diam berharap ada banyak pengajar yang seperti beliau di kampus-kampus. Diskusi akan menarik serta sudut pandang akan beragam dan terbuka. Cocoklah untuk jadi seorang akademisi teladan. Tapi lebih dari itu, jalan ninja seorang Nurhady sulit ditandingi.
Menggeluti sejumlah isu yang ada di desa, mengamati perkembangan pemuda hari ini, menulis dan mempublikasikan berbagai riset, hingga membuat kritik sastra adalah serangkaian hal yang membutuhkan ketekunan luar biasa. Dan Nurhady berhasil melakukannya selama bertahun-tahun.
Hingga hari saya mendengar niatnya untuk menerbitkan novel, saya senang sekaligus penasaran, bagaimana dia akan meramu semua isi kepalanya itu dalam sebuah novel.
Draft novel itu pun dikirim dan saya baca, bagian seru yang juga dibahas di podcast the biography of my work adalah tentang perburuan babi. Saya masih sempat melihat proses itu di desa, tapi dua orang adik saya tidak pernah melihat kejadian itu lagi. Deskripsi Nurhady sangat kuat dan jelas untuk menceritakan keseruan itu, bahkan orang yang belum pernah melihat secara langsung mungkin bisa merasakan keseruannya.
Banyak hal menarik yang diceritakan Nurhady di novel perdananya ini. Saya bahkan bisa bertanya, yang belum tersaji dari Nurhady, apa lagi? Selain menulis naskah akademik tidak seperti dosen-dosen di kampus, beliau juga meramu novel dengan begitu baik. Saya juga berniat belajar seperti itu, bisa menulis naskah akademik yang baik sekaligus karya sastra yang juga baik.
Bila teman-teman pembaca yang tidak sengaja berkunjung atau memang sengaja, kita bisa merayakan kehadiran novel Nurhady dengan membaca dan terus membicarakannya bersama-sama. Ini bukanlah ulasan buku, semoga ulasan tentang novel ini segera hadir setelah teman-teman membacanya.
Selamat untuk Nurhady atas novel “Yang tersisa dari yang tersisa” senang bisa menjadi pembaca awal dan ikut berdiskusi tentang isi serta gagasan yang ada. Semoga novel ini laris, habis tak tersisa hingga cetak ulang segera.
Saya menulis catatan ini di tengah membedah tugas kampus yang membahas tentang masalah psikologi perkotaan, sembari merasa berdosa, mengapa saya tak lebih banyak belajar tentang psikologi pedesaan saja?
Post a Comment: