Kekuatan Keluarga dan Masyaraka untuk Membangun Budaya Literasi




Keluarga dan Masyarakat adalah dua hal penting dalam menumbuhkan budaya literasi. Di lingkungan keluarga yang peduli dengan buku, tak jarang lahir penulis-penulis hebat. Di lingkungan masyarakat yang memberi perhatian pada literasi, kelak lingkungan tersebut mampu menjadi sumber perubahan besar.

Peran Keluarga

213 keluarga diberikan kuisioner untuk mengisi sebuah penelitian. Dari 213 keluarga tersebut, terdapat 148 keluarga yang mengembalikan kuisioner tersebut. Dari jumlah tersebut, terbagi dalam dua kelompok yaitu orangtua yang membaca dan orangtua yang tidak membaca. Hasil penelitian membuktikan bahwa keluarga yang membaca, memberikan efek pada anaknya terkait dengan minat baca, meningkatkan kreativitas, dan selektif dalam memilih program di tv. Berbeda dengan keluarga yang tidak membaca, anak-anaknya cenderung  hanya membaca untuk persoalan tertentu, tidak menjadikannya budaya dan jarang mengunjungi perpustakaan.  Sangat berbeda dengan kelompok sebelumnya.

Penelitian yang berjudul Are Reading Habits of Parents Related to Reading Performance of Their Children?. Dipresentasikan pada the Annual Meeting of the National Council of Teachers of English. Dari penelitian ini, kita bisa belajar bahwa peran keluarga memberikan kontribusi atas perilaku anak dalam membaca. Di luar dari penelitian ini, kita juga bisa belajar dari beberapa pengalaman penulis dunia.


Orhan Pamuk di Perpustakaannya | sumber gambar: livemint.com


Sebagian penulis tumbuh dalam keluarga yang mencintai buku dan menyediakan bahan bacaan di rumah. Sebut saja Orhan Pamuk, penulis asal Turki yang meraih penghargaan Nobel Sastra di tahun 2006. Bersama ayahnya, Orhan Pamuk belajar menjadi seorang pembaca yang rakus sebelum akhirnya menulis sejumlah novel yang telah diterjemahkan ke puluhan bahasa. 


Jorge Luis Borges bersama kucingnya | Sumber gambar: theparisreview.org


Berbeda lagi dengan Jorge Luis Borges, penulis asal Argentina yang benar-benar menghabiskan waktu dengan buku dan sangat mencintai aktivitas membaca. Sikap ini tak lain dari kebiasaan ayahnya yang menyediakan buku-buku untuk anaknya. Terlebih lagi, ayahnya menurut pengakuan Borges adalah seorang penulis yang gagal. Ayah Borges memang sempat menulis sebuah novel. Beruntungnya, karir Jorge Luis Borges sebagai penulis jauh lebih pesat dan terkenal dibanding ayahnya. Borges bahkan dianggap sebagai penulis yang menawarkan kebaruan dalam dunia tulis menulis pada masanya, bahkan sampai sekarang sulit untuk menandingi Borges.

Di luar dari kondisi dengan keluarga tersebut, masih ada beberapa orang yang tentu saja dapat mencintai buku dengan berbagai peristiwa yang unik. Namun, selagi keluarga masih bisa dijadikan ruang belajar, tak ada salahnya kita mulai untuk membangun budaya literasi di dalam keluarga.

Peran Masyarakat

Pustaka bergerak, secara sederhana konsep yang mereka tawarkan adalah menghadirkan buku langsung pada pembaca. Bagi relawa Pustaka Bergerak, tidak ada konsep tunggu bola, kita yang harus jemput. Selain itu, konsep yang ditawarkan adalah dengan melaksanakan berbagai program. Pendiri Pustaka Bergerak, Nirwan Arsuka,  ini pun menulis buku yang berjudul  ‘Buku dan Aktivisme’, Nirwan Ahmad Arsuka berbicara tentang kegiatannnya berkeliling Indonesia; Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sumatra, Maluku, Papua dan Jawa. Gerakan ini bahkan mampu menjangkau Papua. Maka lahirlah,  Noken Pustaka.


Relawan Noken Pustaka bersama adik-adik | sumber gambar: medcom.id


Relawan dari kelompok ini dengan rela  berjalan kaki dari desa ke desa membawa buku bacaan yang disimpan dalam Noken.  Selain Noken Pustaka, ada beberapa program menarik lainnya dari para relawan  di daerah berbeda.

Kuda Pustaka dijalankan oleh Ridwan Sururi. Dengan menggunakan seekor kuda, Ridwan membawa buku-buku dan berkeliling di daerahnya, tepatnya di Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah. Melihat buku-buku dibawa dengan kuda tentu akan menarik perhatian pembaca. 


Pak Ridwan membawa buku | sumber gambar: kudapustaka.blogspot.com



Di pulau Sulawesi sendiri, kita bisa bertemu dengan Ridwan yang berbeda namun membawa visi yang serupa. Dengan menggunakan perahu, Ridwan Alimuddin berkunjung ke pulau-pulau, dia membawakan buku untuk anak-anak. Kesadarannya akan Indonesia sebagai negara maritim, membuat Ridwan percaya jika terdapat begitu banyak pulau yang tak tersentuh buku. Perahu Pustaka sampai saat ini masih terus berjuang untuk membangun budaya literasi. Mereka adalah orang-orang yang peduli dengan sekitarnya.


Perpustakaan di Perahu Pustaka | sumber gambar: dw.com


Melalui pengalaman-pengalaman para relawan ini, kita bisa percaya bahwa sebenarnya minat baca Indonesia tidaklah rendah. Melainkan kurangnya akses buku untuk dibaca. 

Lalu, apa yang akan terjadi bila masyarakat dan keluarga sama-sama mendukung terwujudnya budaya literasi? Kita bisa belajar dari beberapa negara Skandinavia, yang berdasarkan World's Most Literate Nations Ranked menempatkan lima negara Skandinavia pada urutan tertinggi, yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark dan Swedia. Di sana, masyarakat dan keluarga telah menjadikan budaya literasi sebagai kebutuhan dan berbaur dalam kesehariannya. Tak sulit untuk menemukan pemandangan orang-orang yang membaca buku, entah di taman, halte, atau ruang tunggu. Hal sebaliknya terjadi di Indonesia, pemandangan itu masih tampak jarang kita temukan. Efek dari budaya literasi itu juga aka berpengaruh pada kondisi psikologis masyarakat. Dalam hal negara paling bahagia misalnya, negara bagian Skandinavia pun menduduki peringkat tertinggi. Belum lagi sistem pendidikan terbaik pun juga diraih negara-negara dengan tingkat literasi yang tinggi. Kita patut percaya bahwa di lingkungan masyarakat yang memberi perhatian pada literasi, kelak lingkungan tersebut mampu menjadi sumber perubahan besar.

Kofi Annan yang pernah menjabat sebagai sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa, berpesan, “Literacy is a bridge from misery to hope. It is a tool for daily life in modern society. It’s a bulwark against poverty, and a building block of development, an essential complement to investments in roads, dams, clinics, and factories”

Halo, Saya Wawan Kurniawan. Terima kasih telah berkunjung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar