Charles Bukowski, Kematian dan Tahun Baru
Menjelang tahun 2019, tepat 31 Desember 2018 saya mendapat kabar duka atas meninggalnya seorang teman. Lebih tepatnya, dia adalah kek...
Menjelang
tahun 2019, tepat 31 Desember 2018 saya mendapat kabar duka atas meninggalnya
seorang teman. Lebih tepatnya, dia adalah kekasih teman saya tapi akhirnya kami
pun saling kenal, berbagi cerita dan pengalaman. Kami berteman. Dia datang dari
kota yang berbeda. Senang sekali saat mendengar pertanyaannya tentang Makassar
dan berbagai hal tentang kota ini terlontar dari mulutnya. Sembari bertanya,
terlihat kesungguhan dari raut wajahnya dengan tatapan yang serius
memperhatikan penjelasan saya atau teman saya. Sesekali kami tertawa bersama.
Mungkin lebih banyak tertawa, menertawakan kerapuhan lelaki Makassar yang
kadang kalah dengan uang panai.
Saat
mendengar kematiannya yang tiba-tiba, selain bersedih tentu saya juga dibuat
terkejut. Saya mengira dia akan pulang ke Makassar dan tertawa sambil membawa
kabar bahagia untuk hubungannya dengan kekasihnya. Saya yakin dia akan
melakukannya. Tapi kematian, lebih dulu hadir sebagai jawaban sekaligus
pertanyaan. Saya tak habis pikir, melihat kembang api di malam pergantian tahun
membuat saya membayangkan kehidupan bisa bersuara besar dan menghilang cepat
serupa dengan kembang api. Saya sempat ingin menulis satu puisi malam itu, tapi
sayang niat itu tak tuntas sampai sekarang.
Saya
hanya bisa membaca salah satu puisi Charles Bukowski yang berjudul “when I think of myself dead” Ada banyak
penyair yang menulis puisi tentang kematian. Tapi malam itu, saya terkenang
dengan puisi Bukowksi yang juga pernah saya terjemahkan itu. Dalam sebuah
wawancara dengan salah satu stasiun tv dari Belgia, Charles Bukowski sempat
bercerita tentang kematian. Baginya, hidup seperti sebuah perulangan yang terus
terjadi. Tahun demi tahun berulang, kita memperlihatkan aksi serta reaksi yang
sama. Perulangan itu sebenarnya membuat kita merasa lelah dan dengan kematian,
semua itu akan berhenti. Semua orang akan meninggal, dan saat kematian akan
datang kepadanya, dia akan menyambutnya dengan caranya sendiri. Apa yang
kira-kira dapat kita lakukan dengan kematian?
Selain
memikirkannya, kita mungkin bisa menduga dan mempelajari berbagai rupa kematian
di kepala para penyair. Beberapa orang tentu merasakan takut saat ajal mulai
dekat. Beberapa lagi, merasa tak perlu hirau. Tapi, kita tak pernah benar-benar
mengerti apakah kematian sesuai dengan yang kita duga. Puisi menjadi jalan lain
yang bisa kita tempuh dalam menghilangkan berbagai bentuk resah atau kecemasan
dari pikiran kita yang tak mampu mengenali masa depan kematian.
Dalam
puisinya, Buk, sapaan akrab Bukowski menulis bait seperti ini, /ketika aku memikirkan kematianku
sendiri/aku memikirkan semua orang menanti kematiannya/ ketika aku memikirkan
kematianku sendiri/aku merasa diriku tak akan bisa minum air lagi/ketika aku
memikirkan kematianku sendiri/udara kemudian memutih/kecoak di dapurku/gemetar/dan
seseorang pasti melempar/pakaian bersih dan kotorku/dengan jauh.
Memikirkan
kematian sendiri sebenarnya membawa kita pada kehidupan yang ada di sekitar
kita. Bila Buk merasa bahwa kematian mungkin menjadi penutup dari pengulangan.
Saya merasa kematian hanya cara lain untuk mengulang sesuatu yang terjadi.
Seperti penutup puisi Buk, seseorang
pasti melempar pakaian bersih dan kotorku dengan jauh. Terasa ada hasrat
untuk dikenang atau dilupakan, sesuatu yang seringkali jadi alasan para penulis
untuk menulis. Dimensi kematian kiranya menyimpan kehidupan baru. Kematian
mungkin sekadar nama dari sesuatu yang tak kita mengerti dengan baik. Dan
ketidakmengertian itu, jelas membuat anggapan saya dan Buk tak perlu dipercaya.
Tapi hidup, sekiranya sebuah puisi indah tentang kematian, penting untuk
dinikmati. Terlebih saat tahun baru tiba, sebelum kelak seseorang melempar
pakaian bersih dan kotormu dengan jauh.
*Tulisan ini pertama kali dimuat pada rubrik Puitika, Koran Fajar - 6 Januari 2019.
2 comments
Terimakasih untuk tulisannya kak
ReplySemangaat En :)
Reply