Memaknai Religiusitas dalam Puisi Seksualitas



Menjelang matahari terbenam di Losari, panitia merapikan kursi merah yang kira-kira berjumlah kurang lebih seratus dua puluh. Satu per satu para peserta datang mengisi kursi yang disediakan. Di bagian depan, ada tiga buah kursi yang disiapkan untuk Aslan Abidin, saya dan Muhary Wahyu Nurba.

Sebelum panitia mengundang saya, Aslan Abidin dan Muhary Wahyu Nurba, kami sempat bercakap-cakap tentang buku “Orkestra Pemakaman” Seperti biasa, Aslan Abidin tak pernah kehabisan bahan untuk berbagi cerita. Kapan pun dan di mana saja, Aslan tampak selalu siap dengan cerita yang akan dia bagi. Sore itu, saya berkesempatan untuk mengulas Orkestra Pemakaman.

Seminggu sebelumnya, Aslan memberikan satu buah buku Orkestra Pemakaman untuk saya pelajari. Bertempat di sebuah café yang jaraknya tak jauh dari rumahnya, kami berbincang cukup lama. “Saya menulis puisi tentang kematian. Puisi kematian akan jauh lebih baik saat kita menulisnya di puncak kehidupan. Bukan saat menjelang kematian, saat kekuatan dan intelektual mulai memudar” kira-kira seperti itulah pesannya pada saya. Pesan itu kembali disampaikan saat sesi tanya jawab di Launching dan Bedah Buku Orkestra Pemakaman.

Di tengah keriuhan Makassar International Eight Festival & Forum 2018, kami membincangkan kematian dengan cara yang berbeda. Puisi Aslan serupa jalan setapak yang tenang membawa pembaca untuk memasuki lorong makna atas kematian. Muhary Wahyu Nurba pun ikut membacakan satu buah puisi yang berjudul “Malam Pengantin” salah satu puisi yang kemudian diperbincangkan lebih jauh saat sesi tanya jawab.  

Aslan Abidin pun sempat membaca salah satu puisinya yang berjudul “Setitik Air di Kelopak Mawar” Puisi itu dibaca setelah salah seorang peserta mengemukakan kemampuan Aslan meramu kisah nabi mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad dalam bait-bait yang puitis. Hingga bertanya, “Apakah Aslan seorang yang religius?” Saya pun menjawab jika secara pribadi dengan konsep religiusitas yang saya pahami, Aslan merupakan sosok religius. Meskipun, Aslan terkenal dengan puisi-puisinya yang penuh seksualitas.

Meminjam pandangan Freud, libido tampak menjadi pintu yang digunakan Aslan untuk menyentuh ruang rahasia setiap pembaca. Cobalah meresapi bait dalam puisi “Sebuah Pantai dalam Sebuah Menhir” /di pantai ini, kita hanya menunggu/ giliran dikubur. jadi berhentilah mengenang/ buah dadaku, ucapmu/ Terdapat pesan tersirat yang tak sekadar berbicara tentang seksualitas. Pesan itu kembali dapat kita temukan dalam bait /inilah luka yang dulu kau kafani itu rita/ aku menggotongnya mencarimu di antara deru truk-truk yang menjauh dan rumah-rumah bordil/ tempat kau dulu menggosok kemaluan orang-orang yang singgah/  Potongan puisi “Tragika Dada Rita” pun membawa pembaca pada pengalaman yang berbeda.

Kemaluan dalam puisi-puisi Aslan pun perlu dipahami tak sekadar bermakna tunggal. Di dalam beberapa puisinya, kemaluan terhubung dengan konsep malu dalam suku Bugis Makassar. Budaya siri’ yang kemudian terhubung dengan harga diri pun mewarnai makna dan menjadi kekuatan tersendiri dari karya Aslan. Saya merasa dua tema umum tentang kematian dan kemaluan menjadi sesuatu yang kental dalam buku Orkestra Pemakaman.
  
Sore itu terasa lebih berbeda saat kami mulai membahas tentang religiusitas. Menilai seorang penyair religius atau tidak, bukanlah perkara yang sulit. Hanya saja, orang-orang tidak akan menjadikan puisi sebagai pilihan atau pijakan dalam mencari religiusitas. Bagian tersulit selama ini adalah kepercayaan dan keinginan orang-orang untuk melihat puisi lebih dari kata-kata indah. Sebuah karya seni merupakan cerminan kondisi jiwa penulisnya. Seorang Aslan bagi saya adalah sosok pembelajar yang tekun. Dan layaknya seorang penyair sungguhan, Aslan selalu berhasil melihat hal lain dengan cara yang segar dan berbeda. Entah terinspirasi dari Freud atau bacaannya yang kaya, usaha Aslan menghadirkan karya gabungan antara kematian, kemaluan, seks dan lain-lain patut mendapat perhatian serta apresiasi kita. Beberapa saat setelah matahari terbenam, diskusi ditutup dan para peserta datang meminta tanda tangan dan foto bersama Aslan.  

Barangkali saja mungkin anda juga tak percaya, bagaimana mungkin saya menilai seorang Aslan religius sedang puisnya dipenuhi seksualitas. Tapi, pada titik inilah Orkestra Pemakaman dan Aslan sendiri akan terasa menyenangkan. Kematian bagi Aslan adalah peristiwa puitik yang direkam dalam karya-karyanya. Pengalaman batin yang beragam hingga mungkin saja menembus makna seksualitas dan religiusitas dalam waktu yang bersamaan. Setidaknya, bacalah karya Aslan sebelum kematianmu dirayakan puisi lain di luar sana.

*Catatan Launching dan Bedah Buku Orkestra Pemakaman, diterbitkan pada kolom Apresiasi Koran Harian Fajar, 14 Oktober 2018.

Halo, Saya Wawan Kurniawan. Terima kasih telah berkunjung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar