Menjadi Pembaca yang Lebih Kejam
Penghargaan Nobel dibidang Sastra menjadi ruang atau panggung tersendiri bagi para sastrawan dunia. Dimulai sejak tahun 1901, di mana pa...
Penghargaan
Nobel dibidang Sastra menjadi ruang atau panggung tersendiri bagi para
sastrawan dunia. Dimulai sejak tahun 1901, di mana pada waktu itu Sully
Prudhomme, sastrawan asal Prancis menjadi orang pertama yang meraih Nobel
Sastra. Hingga saat ini, Prancis masih menjadi negara peraih nobel sastra
terbanyak yang sejauh ini mencatat 16 nama, disusul Amerika Serikat dan Inggris
yang masing-masing memiliki 11 nama. Sejauh ini, tercatat dua penulis yang
menolak penghargaan nobel sastra yaitu Boris Pasternak dan Jean Paul Sartre.
Ada begitu banyak cerita serta kontroversi terkait dengan penghargaan nobel
sastra tersebut. Namun salah satu hal baik dari penghargaan nobel sastra,
pembaca mampu terbantu untuk menemukan karya atau pencapaian terbaik seorang
penulis di berbagai belahan dunia.
Dari
berbagai karya yang telah dikurasi, buku “Maut Lebih Kejam daripada Cinta”
menjadi sebuah usaha Anton Kurnia dalam menghadirkan kekuatan nobel sastra untuk
pembaca Indonesia. Buku ini berisi 25 cerita pendek karya peraih nobel sastra
seperti, Rudyard Kipling, Rabindranath Tagore, Ernest Hemingway, Albert Camus,
John Steinbeck, Orhan Pamuk, Mo Yan, Mario Vargas Llosa dan sejumlah penulis
lainnya. Kehadiran buku ini tentu saja akan menambah wawasan pembaca untuk
mempelajari serta mengenali bagaimana karya-karya penulis yang berhasil
menemukan warnanya masing-masing.
Cerita
dalam buku ini mengangkat berbagai tema yang begitu dekat dengan kehidupan kita
sehari-hari. Mulai dari kisah cinta keluarga hingga cerita yang merupakan
kritik para penulis terhadap lingkungan sosial budaya yang ada. Salah satu
cerpen penutup dalam buku ini adalah “Obat Mujarab” karya Mo Yan. Cerita itu
menggambarkan bagaimana cinta kasih seorang anak atas kesembuhan ibunya yang
tengah menderita penyakit katarak kronis. Tapi jangan pikir, cerita Mo Yan
hanya sebatas cinta saja. Dalam cerpen itu juga, tergambar bagaimana kondisi
sebuah keluarga yang harus menerima hukuman mati, serangan pasukan bersenjata,
ancaman serta suara ledakan di mana-mana. Pada cerita ini, Mo Yan mampu membawa
suasana mencekam dalam ceritanya sekaligus bentuk kasih sayang seorang anak
secara bersamaan.
Sebaliknya,
di cerpen pertama dalam buku ini yang berjudul “Ayah dan Anak.” Ditulis oleh
penulis asal Norwegia dengan kemampuan membawa pembaca pada kemurungan serta
sebentuk kasih seorang ayah terhadap anaknya. Begitu besar pengorbanan dan
pengharapannya kepada anak satu-satunya, yang pada akhirnya membawanya pada
kehidupan yang mengubah segalanya. Semua itu terjadi lantaran ungkapan atau
bentuk kasih sayangnya yang tulus pada anaknya itu.
Lain
lagi dengan cerpen dari John Galsworthy, yang berjudul “Tukang Sepatu.” Secara
sederhana, Galsworthy tengah berbicara tentang bentuk kecintaan seorang tukang
sepatu terhadap karya-karyanya. Dikisahkan, dua orang bersaudara yang merintis
usaha sepatu yang dengan penuh penjiwaan mencoba menghasilkan sepatu yang berkualitas.
Namun sayangnya, cara kerja mereka butuh waktu yang cukup lama dan akhirnya
kalah dengan toko sepatu modern. Dua orang bersaudara itu harus melawan
perubahan zaman yang cepat dan penuh tantangan. Hingga seorang pelanggan setia,
percaya dan mengisahkan dua saudara itu sebagai tukang sepatu terbaik yang
pernah ia kenal.
Salah
satu cerita yang menarik dan berbeda dari sejumlah buku ini adalah cerpen yang
berjudul “Senja” karya Wladyslaw Reymont. Senja menjadi titik penulis dalam
menggabungkan suasana sendu dua ekor anjing yang tengah menghadapi masa kritis.
Seekor anjing meninggal, dan seekor sahabatnya datang menemani dengan kesedihan
yang tergambar dari deskripsi menjelang senja. Serta selepas seekor anjing yang
bernama Sokol meninggal, ada yang terasa begitu murung dan menyakitkan.
Sedangkan
judul buku “Maut Lebih Kejam daripada Cinta” yang merupakan salah satu cerpen
Gabriel Garcia Marquez. Di dalam cerpen itu pula, pembaca dapat mengenal teknik
foreshadow. Teknik yang sama dengan
novelnya yang berjudul One Hundred Years of Solitude dan salah satu yang paling
baik ada pada novel pendeknya yang berjudul Chronicle
of a Death Foretold. Dalam cerpen di buku ini, Gabo kembali membukanya
cerita dengan gayanya yang khas, “Senator
Onesimo Sanchez hanya punya sisa waktu enam bulan sebelas hari sebelum dijemput
maut ketika dia menemukan perempuan idamannya.”
Meskipun
buku ini terdiri dari 25 cerita pendek peraih nobel sastra, di dalamnya
terdapat beberapa potongan novel yang diikutkan oleh Anton Kurnia. Beberapa
potongan itu setidaknya bisa menjadi pintu yang mengajak pembaca memasuki dunia
baru yang lebih jauh dan panjang. Beberapa potongan novel diantaranya My Name
is Red karya Orhan Pamuk, Nausea karya Sartre, Song of Solomon karya Toni Morrison, A Personal
Matter karya Kenzaburo Oe, Baltasar and Blimunda karya Jose Saramago, Disgrace
karya J.M. Coetzee. Sekiranya, pembaca yang baik akan terus berkembang dan
mencari sejumlah buku yang layak untuk dibaca. Dan sepilihan kisah yang
ditawarkan dalam buku ini, mungkin akan menjadi pelecut bagi seorang pembaca
yang ingin berkenalan dengan karya penulis besar. Lalu, adakah pembaca yang
lebih kejam daripada maut?
Post a Comment: