Merasakan Ruang Kehidupan Lampu Merah
Sama halnya seperti otot tubuh kita yang selalu dijaga melalui olahraga. Empati kita pun sekiranya patut untuk selalu dijaga. Dan sastra ...
Sama
halnya seperti otot tubuh kita yang selalu dijaga melalui olahraga. Empati kita
pun sekiranya patut untuk selalu dijaga. Dan sastra mampu menjadi cara untuk
menjadikan empati kita lebih kuat. Kurang lebih seperti itulah pesan dari salah
seorang Etgar Keret kala berkesempatan jadi seorang pembicara pada Arts &
Ideas at the JCCSF di tahun 2014. Di antara banyak buku yang beredar di sekitar
kita, sudahkah anda memilih bacaan yang pas dan memiliki kemampuan untuk
melatih empati anda. Hamsad Rangkuti, penulis asal Medan membuka ruang bagi
kita semua melalui novelnya, “Ketika Lampu Berwarna Merah (KLBM).” Jika
mendengar Hamsad Rangkuti, barangkali kita akan mengenangnya sebagai seorang
cerpenis. Namun, selain menghasilkan cerpen, Hamsad juga menghasilkan sejumlah
novel yang menarik untuk dibaca.
Melalui
KLBM, Hamsad menggiring pembaca pada dunia di sekitar lampu merah. Dunia yang
bagi masyarakat perkotaan kadang disepelekan. Kadang kala sekitaran lampu merah
menjadi suatu tempat mengerikan lantaran para pengguna jalan akan didatangi
oleh pengemis atau para peminta-minta. Seorang teman kadang merasa risih dengan
hadirnya pengemis di lampu merah. Seorang lagi memilih untuk senantiasa berbagi
dengan para pengemis. Dengan beragam kemungkinan yang kita alami di lampu
merah, Hamsad menghadirkan pipin sebagai kekuatan sekaligus simbol dalam
novelnya ini. Pipin adalah seorang anak yang berkaki buntung. Dengan
kehadirannya, ia berhasil membantu teman-temannya untuk mendapat penghasilan
lebih.
Di
bagian awal novel ini, digambarkan keinginan-keinginan sederhana anak-anak
jalanan. Ada yang ingin makan telur rebus sambil mengupasnya sendiri. Ada yang
ingin makan ikan goreng. Ada yang ingin makan daging rendang. Sepotong ayam
goreng. Telur dadar. Sate. Perkedel kentang. Martabak India. Semua itu ingin
dikabulkan Pipin, kala ibunya sakit dan ia bebas untuk mengatur uang yang
didapatkannya. Selanjutnya, Hamsad menggambarkan kehidupan para anak jalanan
setelah menghabiskan waktu di sekitar lampu merah. Bagaimana saat mereka hendak
tidur di malam hari serta saat bangun untuk memulai hari. Kehidupan mereka
dipenuhi dengan ketidakpastian.
Selain
itu, ada tokoh Kartijo yang sebelumnya hidup di Wonogiri mesti ikut pindah ke
Sumatera karena adanya program transmigrasi. Lokasinya yang dulu akan disulap
menjadi sebuah waduk raksasa. Kartijo mau tidak mau harus menerima nasibnya.
Belum lagi, ia harus mencari anaknya, Basri yang ikut bersama Pipin. Mereka
telah hidup di bawah dunia lampu merah. Hasrat untuk segera menemukan Basri,
mendorongnya untuk segera ke Jakarta. Meski ia sama sekali tak punya cukup
informasi di mana keberadaan anaknya.
Di
persimpangan monas dan di bawah lampu merah menjadi dua hal penting bagi
Kartijo. Beruntung, dari dua hal tersebut ia menemukan isyarat demi isyarat
yang pada akhirnya mempertemukannya dengan Basri. Pun saat menemukan Basri,
masalah tidak seketika terpecahkan. Basri tidak ingin meninggalkan Pipin dan
saudaranya. Juga segala dunia yang telah ia tinggali selama ini. Kehidupan
jalanan, bagaimana pun sulit dan deritanya namun bagi mereka, Basri, Pipin
beserta kawan-kawannya telah menjadi kebahagiaan yang tak terkira.
Seperti
yang sebelumnya saya sampaikan, Pipin juga dapat menjadi simbol dalam novel
ini. Simbol yang dapat menggambarkan banyak hal, misalnya saja kehidupan dalam
ruang yang berada pada titik keterbatasan. Meski pun demikian, selalu ada ruang
untuk bermimpi dan menciptakan harapan-harapan baru. Hamsad juga menggambarkan
betapa sederhana harapan Pipin. “Ia ingin berlari di halaman, ia ingin berkaki
dua seperti anak normal lainnya” Tentu gambaran ini memberikan pembaca ruang
untuk kembali merefleksikan kehidupannya. Apakah hidup berkecukupan atau hidup
kekurangan akan memberikan kita ruang refleksi? Di tengah hidup perkotaan yang
rumit, sesekali menyelami dunia berbeda adalah sesuatu yang penting. Dengan
cara ini pula, Etgar Keret percaya jika sastra akan menjadi kekuatan untuk
mengajarikan rasa empat yang lebih baik. Kiranya, novel setebal kurang lebih
dua ratus halaman itu menjadi persinggahan menyenangkan untuk pembaca. Ruang
kehidupan lampu merah dalam karya Hamsad yang satu ini, semoga memberikan kita
pandangan bagaimana sisi lain dari hidup yang tak selamanya sempurna.
Setelah
membaca novel ini, setiap kali sepeda motor saya berhenti di lampu merah, saya
membayangkan Pipin, Basri serta kawan-kawannya tengah menjalani hidup mereka
dengan rasa bahagia di tengah keriuhan lampu merah. Sembari memerhatikan
anak-anak jalanan yang terus menjalani hidup dengan bahagia yang kadang tak
bisa kita jelaskan.
*Tulisan ini pernah dimuat pada kolom Apresiasi, Koran Harian Fajar 24 September 2017
1 comments :
Like.
ReplyFinally, setelah dua tahun akhirnya saya menemukan blog ini, *(rasanya kok terlalu lama
#Salam, tamu yang tersesat