Menunggu Novel Kedua Arundhati Roy

Penulis yang baik secara tidak langsung membuat saya berusaha mencari bukunya yang lain setelah saya menyelesaikan salah satu bukunya. Namun, bagaimana jika novel yang saya baca adalah karya Arundhati Roy (penulis asal India), yang berjudul The God of Small Thing. Novel perdananya yang langsung dinobatkan sebagai pemenang pada ajang Booker Prize di tahun 1997. Dan jika pembaca hendak membaca novel keduanya, maka mereka harus menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sebenarnya Roy tetap menulis beberapa buku, namun belum menerbitkan novel keduanya. Selain novel, Roy telah menuliskan beberapa buku yang juga patut untuk dikoleksi, seperti The Cost of Living, War Talk, The Algebra Of Infinite Justice, dan Capitalism- A Ghost Story.  



Berdasarkan wawancara bersama Roy yang dirilis oleh salah satu media di India, dikabarkan novel keduanya akan terbit  pada bulan Juni 2017. Nah... sembari menunggu novel kedua Roy barangkali anda patut membaca novel The God of Small Thing terlebih dahulu. Saya merasa buku ini penting untuk dibaca. Terlihat jelas, bahwa Roy mencurahkan waktu, energi serta emosi yang luar biasa dalam melahirkan novelnya itu. Hal menarik bagi saya adalah alur dari novel ini yang berbeda, bukan lagi alur mundur biasa. Tetapi alur melingkar yang membangun satu potongan kisah menjadi kisah yang amat besar dan terus berkembang.

Kisah tentang Estha dan Rahel, kembar dari dua telur (Dizgotic). Yang kemudian berpisah lalu dalam waktu yang lama kembali bertemu dengan kondisi yang berbeda. Si kembar, bersama seorang ibu yang bernama Ammu, yang secara adat telah mencoreng nama baik keluarga setelah menjalin hubungan dengan seorang babu (Velutha). Kehadiran Velutha sendiri, bagi Ammu dianggap sebagai dewa hal-hal kecil yang mampu melakukan hal-hal kecil. Suara diskriminatif, sistem kasta, agama, gender, seksualitas, serta patriarkis menjadi inti dari cerita yang dikemas Roy dengan sangat rapi. Hanya saja, pembaca membutuhkan konsentrasi yang tinggi dalam menyelesaikan novel ini. Sejak awal, Roy telah membuka rahasia dari cerita ini. Seperti petikan dalam salah satu bagian novel ini, rahasia cerita terbaik adalah tidak memiliki rahasia sama sekali. Sudut pandang dalam cerita pun menarik. Roy pun menggunakan sudut pandang Rahel dewasa, Rahel kecil yang bergantian dan sudut pandang ketiga.  

Ada banyak simbol, simile serta metafora dalam novel ini. Begitu pun dengan pemaknaan “Yang Maha Kecil” patut menjadi bahan diskusi bagi para pembaca. Saya sendiri akan membaca kembali buku ini, sebab saya percaya The God of Small Thing adalah salah satu buku yang memiliki kekuatan untuk memberi ruang pada pembaca menemukan sesuatu yang berbeda dan penuh kejutan. Dan kejutan selanjutnya akan tercipta pada novel keduanya.           

Halo, Saya Wawan Kurniawan. Terima kasih telah berkunjung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar