‘O’ dan Harapan Menjadi Manusia
Bayangkan jika seekor monyet berdiri di atas ranting kemudian menodong dua orang polisi dengan sebuah revolver di tangannya. Seperti itulah...
Bayangkan
jika seekor monyet berdiri di atas ranting kemudian menodong dua orang polisi
dengan sebuah revolver di tangannya. Seperti itulah Eka Kurniawan membuka
novelnya yang berjudul “O” yang juga merupakan novel keempatnya. Setelah
‘Cantik Itu Luka’ (2002), ‘Lelaki Harimau’ (2004) dan ‘Seperti Dendam, Rindu
Harus Dibayar Tuntas’ (2014).
Seperti
biasa, Eka menciptakan kalimat pertama yang memang ia anggap tepat untuk
memulai keseluruhan cerita dalam novelnya. Kalimat pertama Eka dimulai dengan
pernyataan yang berasal dari benak kekasih si monyet yang memegang revolver
itu, “Enggak gampang jadi manusia” pikir O. Pernyataan itu pula yang akan
menjadi tanda tanya untuk setiap pembaca, setelah mereka paham jika kali ini
ada monyet yang bermimpi untuk menjadi manusia. Bahkan di bagian belakang novel
Eka, kalimat “Tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan kaisar dangdut”
akan memberikan kesan tersendiri untuk pembaca. Agar pembaca bersiap menerima
sejumlah kemungkinan yang ada di dalam novel ‘O’ itu.
Sebelum
melanjutkan membaca novel “O” itu, saya memperhatikan desain sampulnya. Eka
sendiri yang mendesain sampul dan ilustrasi dari bukunya, ini bukan yang
pertama kalinya Eka melakukan itu, ia pernah melakukan hal yang sama di beberapa
buku sebelumnya. Di blog pribadinya, beberapa kali Eka menjelaskan jika dirinya
adalah seorang yang ikut terpengaruh dari keren atau menariknya sampul sebuah
buku. Sampul akan memberikan efek dalam pengambilan keputusan membeli atau
tidak membeli. Lagi pula, Eka memang memiliki latar pendidikan desain grafis sebelum
pindah ke filsafat. Dan juga ada beberapa penulis seperti, J.R.R. Tolkien,
William Blake, T.S. Eliot, Milan Kundera, Günter Grass. juga melakukan hal yang
serupa, mereka mendesain sampul bukunya sendiri.
Tanpa
perlu menjelaskan banyak hal tentang Eka, dunia kepenulisan di dalam dan luar
negeri telah banyak memperbincangkan karya-karya Eka. Belum lagi setelah buku -
bukunya berhasil mendapatkan sejumlah pujian dan penghargaan. Novel keempat
ini, sekiranya akan mengulang karya-karya Eka sebelumnya. Bagaimana tidak,
dibagian awal hingga pertengahana sekali pun Eka berhasil menyimpan banyak
pertanyaan kepada pembaca. Saat Entang Kokasih, yang merupakan seekor monyet
jantan yang memiliki keinginan untuk berubah menjadi seorang manusia. Keinginan
Entang Kokasih dan juga pertanyaan yang ada di benak pembaca akan menjadikan
novel “O” sebagai labirin yang mesti dijelajahi dan ditemukan jalan keluarnya.
Dimulai
dari Rawa Kalong, Eka menyusun cerita dengan menghadirkan ada banyak kisah di
dalam novel “O” yang pada akhirnya akan bertemu. Seperti, kisah Entang Kosasih
dan O, kisah cinta dua ekor monyet yang berasal dari Rawa Kalong. Kisah Armo
Gundul, monyet yang konon berhasil menjadi manusia. Ada juga, Sobar seorang
polisi bersama kawan sejatinya, Joni Simbolon beserta revolvernya. Dan cerita tentang Toni Bagong dan Dara. Serta
ada Betalumur, Mimi Jamilah seorang waria, dan Rini Juwita beserta dua orang
anaknya.
Di
Rawa Kalong, tempat monyet-monyet itu berkumpul, cita-cita Entang Kokasih pun
ditertawakan. Meskipun sebenarnya, impian itu berasal dari cerita-cerita monyet
terdahulu. Konon, seekor monyet yang bernama Armo Gundul berhasil berubah
menjadi manusia. Kisah Armo Gundul telah membuat Entang Kokasih terobsesi
menjadi seorang manusia. Dan ketika seluruh monyet di Rawa Kalong menertawakan
impiannya itu, ada seekor monyet betina yang bernama “O” yang menjadi
satu-satunya monyet yang percaya dan mendukungnya.
O
dan Entang Kokasih adalah sepasang kekasih yang berencana untuk menikah, namun
impian menjadi manusia telah membuat Entang Kokasih terkadang lupa dengan
rencana itu. Sedangkan O dengan setia yakin jika kekasihnya akan menepati
janjinya itu. Hingga suatu hari, Entang Kokasih berhasil menggunakan revolver
kemudian menembakkannya tepat di dada bagian kiri Joni Simbolon, sahabat dari
Sobar. Namun selang beberapa hari, Sobar datang membalaskan dendam dan berhasil
menembak Entang Kokasih. Monyet itu jatuh dan mayatnya tak ditemukan. Bagi
Entang Kokasih, dia merasa telah menjadi manusia setelah berhasil menggunakan
senjata manusia. Sedangkan O, mulai percaya jika kekasihnya telah hilang dan
berhasil menjadi seorang manusia.
O
pun berniat untuk meninggalkan Rawa Kalong, dengan bantuan si tikus peramal
bernama Manikmaya, ia berhasil mendapatkan pesan jika pasar akan menjadi tempat
ia menemukan kekasihnya itu. Dan saat O melihat sebuah poster kaisar dangdut,
ia pun yakin jika itu adalah kekasihnya. Perjalanan O menemukan kekasihnya itu
tentu butuh pengorbanan, ia rela bekerja bersama Betalumur dan mulai menjadi
hiburan untuk orang lain sebagai topeng monyet.
*
Novel
ini boleh dibilang Fabel, namun lebih dari itu, Novel ini menyimpan berbagai
pesan dan kesan yang berbeda dari novel-novel Eka sebelumnya. Ada tokoh monyet,
ada anjing, burung kakak tua, tikus, hingga babi. Sejumlah hewan itu pun
bercakap, memainkan peran masing-masing dan mampu menghidupkan alur cerita dari
novel ini.
Selain
itu, Eka sedang kembali menghidupkan pesan-pesan dalam karya George Orwell,
Animal Farm. Ketika Entang Kosasih dengan penuh keyakinan terus berusaha
belajar menjadi manusia, dan O dengan ketabahan untuk terus tersiksa belajar
berpura-pura menjadi manusia di topeng monyet, akan ada pertanyaan yang
semestinya kita tujukan pada diri sendiri. Apakah kita benar-benar seorang manusia?
Dan dibagian akhir novel ini, O mengorbankan dirinya untuk Kirik, seekor anjing
yang telah menjadi sahabatnya sejak menjadi topeng monyet. O rela bertarung
dengan anjing yang bertubuh lebih besar dari dirinya dan mengorbankan hidupnya
demi menyelamatkan hidup Kirik. Dan dikehidupan selanjutnya, ia percaya jika
kelak akan ada kehidupan yang membiarkannya menjadi manusia dan bertemu dengan
kekasihnya.
Akan
ada masa ketika manusia mampu lebih buruk dari pada seekor hewan yang tak
berakal, dan beberapa kali Eka memunculkan pesan itu. “Manusia, dari sampah
kembali ke sampah” itu pesan Eka melalui seekor anjing di tempat penimbunan
sampah. Seorang filsuf bernama Marcus Aurelius (121 - 180) mempunyai anggapan
yang tak jauh beda dengan itu, bahwa manusia hanya sekadar daging, sekadar
nafas hidup, dan hanya akal budi yang memimpinnya.
Terakhir,
ada sebuah pesan dari Marcus Aurelius yang juga penting. Baginya, hidup kita
ibarat sebuah drama dalam tiga babak: lahir - hidup - mati. Kita hanya
bertanggung jawab atas babak kedua, kehidupan yang terentang antara lahir dan
mati. Dua bagian lainnya adalah tanggung jawab dari Tuhan.
Post a Comment: