Manusia Tanpa Rencana?
Suatu waktu kau butuh hidup tanpa rencana. Menjadi manusia tanpa rencana. Apa pun namanya, jalan pikiran seperti itu akan dianggap bodoh. S...
Suatu waktu kau butuh hidup tanpa rencana. Menjadi manusia tanpa rencana. Apa pun namanya, jalan pikiran seperti itu akan dianggap bodoh. Sejak kecil, kita dikelilingi orang-orang yang menuntut kita memastikan rencana. Tanpa sadar kita adalah manusia yang selalu patuh terhadap rencana. Saat menulis ini, saya berpikir jika ini bagian dari rencanaku. Saya gagal menjadi manusia tanpa rencana. Tetapi, pertanyaan pertama yang semestinya kita jawab, “Lebih baik mana hidup dengan rencana atau tak memiliki rencana sama sekali?”
Saya punya teman yang hampir setiap waktu menyusun rencana dengan matang. Sejumlah pencapaian dengan tegas ia katakan kepadaku, seolah ia percaya bahwa harapan adalah sesuatu yang sangat baik. Di sisi lain, seorang teman saya yang lain, percaya jika harapan adalah awal mula rasa sakit dan ia akan menasihatimu untuk belajar menghindari harapan.
Beberapa hari yang lalu saya kembali memainkan anime “One Punch Man” dengan alasan, “Saya sedang ingin sedikit tertawa atau setidaknya tersenyum!” Tokoh utama One Punch Man bernama Saitama, saya rasa karakter Saitama membuat saya betah dan bersedia meluangkan waktu untuk menikmatinya. Penulisnya, pada awalnya tak punya alasan selain untuk menghibur dirinya sendiri. Ia tak berniat agar Saitama menjadi besar seperti hari ini. Saya teringat satu pesan Saitama, “Masalah hari esok, kuserahkan untuk diriku yang esok” dan rasanya itu adalah alter ego penulisnya, One.
Saat menulis catatan ini, saya sedang menikmati suara seorang lelaki yang (belajar) bernyanyi di sebuah warung kopi, sendiri. Saya melihatnya dan menikmati lagunya, meski pun lelaki itu bernyanyi sesukanya. Saya tidak tahu sejak kapan ia mulai bernyanyi, namun hingga catatan ini berada pada 300 kata, ia masih tetap bernyanyi. Lagunya mulai dari Jazz, pop hingga dangdut. Sepertinya, ia tak memiliki rencana malam ini, tentang mulai dari lagu mana dan berakhir di mana penampilannya malam ini.
Di tempat ini, sebenarnya saya sedang menanti seorang teman. Saya datang lebih awal dari waktu yang ditentukan, hidup tanpa rencana sepertinya adalah bagian dari rencana itu juga. Saya masih ingin menikmati lelaki tua itu bernyanyi, dan melihat ia tertawa lepas. Saya merasa sedang mengobservasi, seperti halnya tugas di kelas mahasiswa psikologi. Tapi, ini bukan observasi, ini hanya catatan tanpa rencana. Saya tak tahu mengapa saya menulis catatan ini, mungkin efek setelah membaca “The Book of Quoestions” karya Pablo Neruda. Di awal dan di akhir catatan ini, saya hanya ingin bertanya, “Apakah kebahagiaan ada pada rencana atau tidak sama sekali?” atau boleh juga pertanyaannya seperti ini “Apakah pertanyaan serta catatan ini perlu dijawab atau cukup diabaikan saja?”
Post a Comment: