Puisi dan Bulu Kuduk AZM

Buku pertama di tahun 2016 yang saya tamatkan adalah “Puisi dan Bulu Kuduk.” Buku yang berisi kumpulan tulisan penyair Acep Zamzam Noor (AZN). Niat saya membaca buku itu sudah ada sejak lama, setelah saya mengetahui bahwa 26 tulisan AZN tentang puisi disatukan dalam satu buku itu. Namun, baru beberapa hari yang lalu saya menemukan buku itu. Sehari sebelum pergantian tahun, saya mengunjungi beberapa toko buku sebagai cara menghilangkan kebosanan saya saat itu. Hingga tiba di toko buku dekat kampus UNM Parantambung, saya menemukan buku itu dengan kondisi yang tak lagi terbungkus rapi,  di sampul buku itu pun ada lipatan kecil di bagian sudut kanan atas. Bagi saya itu tak penting. Beruntungnya, penjual buku di toko itu mencari buku “Puisi dan Bulu Kuduk” yang masih tersegel. Saya pun membawa pulang buku itu dengan kondisi yang jauh lebih baik. Oiya, nama toko buku itu, Pelangi.

Membaca buku itu serupa isyarat yang tak langsung bagi diri saya sendiri. Isyarat untuk kembali melihat jalan kepenyairan yang hendak saya tempuh. Sejak tahun 2010 saya mencoba mengenal dan menulis puisi, hingga di tahun 2013 buku pertama saya terbit. Di buku puisi pertama saya, “Persinggahan Perangai Sepi” tidak ada yang istimewa sama sekali. Bahkan jika saja AZN membaca buku saya, ia kemungkinan akan mengatakan, “puisi ini tidak berefek, bulu kuduk saya tidak merinding sama sekali.” Bagi AZN tolak ukur puisi yang baik adalah bisa memberikan pengaruh kepada pembacanya. Tidak peduli apakah puisi yang ditulis itu puisi cinta atau protes, puisi pendek atau panjang, mudah atau sulit dipahami, ditulis wanita atau lelaki. Tolak ukur AZN adalah bulu kuduk.  

Keseriuasan seorang penyair sangat berpengaruh pada puisi-puisinya. Beberapa Minggu sebelum pergantian tahun, saya sedang diserang pertanyaan “bagaimana nasib puisi-puisi saya selanjutnya?” Mungkin karena masalah itu juga, saya mengawali tahun ini dengan membaca buku dari AZN. Buku itu telah memberikan ruang kepada pembaca untuk mengenal puisi dan menghadirkan puisi dengan cara yang lebih baik. Saya sendiri berharap dapat lebih serius untuk menekuni jalan yang saya pilih. Salah satu tulisan yang menarik dari 26 tulisan di atas adalah “Puisi dan Batu Akik” tulisan yang pada mulanya dimuat pada buku program Khatulistiwa Literary Award 2007-2008. Tulisan itu tentang kesan-kesannya sebagai penerima anugerah tahun sebelumnya, buku kumpulan puisinya, “Menjadi Penyair Lagi” terpilih sebagai pemenang.

Pada bagian itu, AZN menggambarkan bahwa sejak kecil ia gemar mengumpulkan batu, mulai dari harga pasaran hingga yang berkelas. Proses puisi ia gambarkan tak jauh beda dengan proses sebuah batu sejak bongkahan yang tak berharga sampai menjadi sesuatu yang bernilai tinggi. Bahkan, ketika ia didatangi anak-anak muda yang datang untuk belajar menulis puisi, maka pelajaran pertama yang diberikan adalah menggosok batu akik. AZN menyimpan niat lain dari pelajaran pertama itu. Ia berharap dengan langkah seperti itu, akan melatih kekhusyukan, kesabaran, ketulusan serta kecintaan mereka terhadap sesuatu. Semua itu akan penting bagi jalan seorang penyair. Bagaimana penyair mampu mengolah batin dan membentuk mental tangguh; khusyuk, sabar, penuh cinta, tanpa pamrih dan tidak gampang naik darah. “Batu itu seperti kata, semakin digosok semakin bercahaya,” begitulah fatwa dari AZN. Tapi bagi saya pribadi, saya tidak hobi dengan batu akik. Sama sekali tidak.  

Di bagian akhir tulisan itu, AZN memberikan pilihan bahwa selain menggosok batu ada cara lain yang dapat dilakukan. Seperti memelihara ikan dan merawat bonsai. Dua hal ini jelas saya setuju, saya senang dengan kedua hal itu. Cara yang dijelaskan itu menjadi sebagian cara dari banyak jalan yang ditempuh untuk khusuk dalam puisi. Saya yakin setiap penyair akan menemukan jalannya masing-masing. Hingga menemukan titik khusuk yang pas.


Terakhir, hal terpenting dari kehadiran buku itu adalah menjelaskan sekali lagi kepada saya dan mungkin juga pembaca yang lainnya bahwa puisi dan penyair memiliki peran penting. Ada banyak hal yang dijelaskan dalam buku itu. Sebagai penutup, saya akan menuliskan penutup dari tulisan terakhir buku “Puisi dan Bulu Kuduk,” yaitu: “Tugas penyair bukan hanya melahirkan tulisan, tapi juga perbuatan. Bukan hanya menerbitkan buku dan tampil di panggung-panggung pertunjukan, tapi juga melakukan gerakan nyata di tengah-tengah masyarakat.”   

Halo, Saya Wawan Kurniawan. Terima kasih telah berkunjung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar