Sejumlah Kebodohan Yang Polos
Filsafat dan psikologi adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sebagai seorang yang pernah menjadi mahasiswa psikologi dan masih ingin “menjad...
Filsafat
dan psikologi adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sebagai seorang yang pernah
menjadi mahasiswa psikologi dan masih ingin “menjadi”, saya kadang merasa
sedikit kesal dengan isi kepala saya. Kemampuan saya untuk mempertemukan dua
hal itu tak semudah yang saya pikirkan sebelumnya. Beruntungnya, saya punya
beberapa teman di luar lingkungan kampus yang cukup menyenangkan untuk diajak
berbagi resah. Mereka juga tetap bersedia menerima saya yang hanya bisa ikut
mendengarkan saja.
Mahasiswa
di tempat saya begitu mudah puas dengan hal yang biasa - biasa saja. Sulit
menemukan teman diskusi yang merasa tak tahu apa - apa dan dipenuhi keinginan untuk
berbenah lalu belajar lagi, lagi dan lagi. Beruntung, di tempat saya masih ada beberapa orang yang
mengajari saya untuk tetap menikmati ritme itu. Bagaimana pun kondisinya, saya
tak sepenuhnya menyalahkan lingkungan.
Beberapa
hari ini saya bertemu dengan seorang adik kelas yang sedang asyik membawa karya
penulis asal Norwegia, Jostein Gaarder, dengan bukunya “Dunia Sophie”. Alasan
ia membaca buku itu adalah karena ingin belajar filsafat. Buku itu memang
sering direkomendasikan sebagai bacaan pengantar untuk mengenal filsafat. Saya
berharap jika ia belajar filsafat untuk menuntaskan sesuatu dalam dirinya, tapi
sepertinya tidak seperti itu. Setelah bertemu dengannya beberapa hari kemudian,
saya menanyakan kabar akan buku itu, “Saya simpan kak, terlalu berat!” itu
katanya.
Ini
bukan kali pertama saya menemukan mahasiswa seperti ini. Sudah beberapa kali,
mungkin dia yang ketujuh. Ada banyak kemungkinan dia berkata seperti itu,
mungkin saja bacaan sebelumnya tak mendukung dan membantu ia bertemu pertanyaan
mendasar yang ada di Dunia Sophie. Mungkin saja, niat membacanya kurang serius
dan gagal memaksa dirinya untuk belajar menyukai sesuatu yang dikemas seperti
itu. Mungkin saja, dia berpikir jika mengerjakan tugas kuliah jauh lebih
penting daripada membuang waktu membaca ratusan halaman yang tak mungkin
disinggung sedikit pun oleh dosen di kelas.
Silakan
bantu saya memikirkan kemungkinan lainnya. Dan sebenarnya, saya menulis catatan
ini untuk sedikit membantu beberapa teman yang ingin membaca Jostein Gaarder
dengan lebih menyenangkan. Jika benar ingin mengenal karya Gaarder, saya
mungkin akan menyarankan karyanya yang berjudul “Gadis Jeruk” untuk dibaca
lebih awal. Alasannya, mungkin ini bersifat subjektif, namun dalam buku itu ada
hal yang bisa kita pelajari dari rangkain kisah yang ada dalam karya Gaarder. Atau
dengan karyanya yang berjudul “Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken.” Terakhir saya
membaca “Dunia Anna” dan “Cecilia dan malaikat Ariel.” Tebal buku Gaarder itu
tak setebal Dunia Sophie. Semua itu bisa jadi latihan untuk kembali memulai
membacanya.
Akan
tetapi tantangan selanjutnya adalah “membaca” masih menjadi sesuatu yang “melelahkan”.
Sesuatu yang “menyedihkan.” Namun, ada pula di antara kami yang berusaha untuk
melawan kondisi buruk seperti itu. Kadang saya merasa putus asa, namun karena
mereka juga, yang seakan keras kepala dengan hal yang mereka mimpikan, saya
berusaha memaksa diri untuk belajar keras dari mereka. Entah sampai kapan?
Pernah
suatu waktu, saya berpikir jika saya harus membuat panduan berpikir. Saat itu
saya curiga jikalau saya nyaris menyerah, merasa kalah, dan gagal segagalnya.
Saya tak membebaskan pikiran saya seperti biasa, “Penting mana, memikirkan diri
sendiri atau memikirkan orang lain terlebih dahulu?” Saya belum cukup baik
untuk menulis atau melanjutkan tulisan ini, maaf. Saya semakin penuh curiga
pada diri saya sendiri, semua ini kebodohan yang polos.
Post a Comment: