Maggie Tiojakin, Tersesat dalam Absurd
Bagaimana awal dan akhir dari kehidupan? Setiap dari kita akan memberikan respon yang berbeda – beda. Seperti halnya Maggie Tiojakin yang m...
Bagaimana awal dan
akhir dari kehidupan? Setiap dari kita akan memberikan respon yang berbeda –
beda. Seperti halnya Maggie Tiojakin yang menuliskan sejumlah peristiwa dengan
sudut pandang yang berbeda. Baginya, kehidupan selalu dipenuhi dengan hal – hal
absurd. Mulai dari kelahiran manusia, proses pertumbuhan hingga menghadapi
sejumlah pengalaman panjang hingga akhirnya menemukan kematiannya. Secara
mendasar, absurdisme merupakan suatu paham yang didasarkan pada keyakinan bahwa
upaya manusia dalam mencari arti kehidupan selalu berakhir dalam kegagalan, dan
kecendrungan manusia untuk melakukan hal itu sebagai suatu yang absurd.
Seperti halnya yang
dituliskan oleh Albert Camus dalam
sebuah esai filsafatnya yang berjudul “The
Myth of Sisyphus” bahwa “para dewa telah menghukum Sisifus untuk terus
menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung; dari puncak
gunung, batu itu akan jatuh kebawah oleh beratnya sendiri. Tidak ada hukuman
yang lebih mengerikan daripada pekerjaan yang tak berguna, dan tanpa harapan
itu”.
Sisifus merupakan
mitologi yang menjadi metafora dari kehidupan modern saat ini, ketika dengan
mudah para buruh pabrik dan pekerja kantoran melakukan tugas yang sama
sepanjang hari selama hidupnya. Melakukan tugas yang sama dan nasibnya ini tak
kalah absurd. Namun ketragisannya hanya muncul di saat mereka sadar akan
nasibnya. Penggambaran yang dijelaskan oleh Albert Camus mencoba memperlihatkan
kondisi manusia yang senantiasa harus tabah menahan derita. Kegagalan begitu
dekat, putus asa dengan mudah kita temui.
Kesia-siaan bukanlah
sesuatu hal yang langka. Namun, apakah dengan penjelasan itu kita percaya bahwa
hidup kita adalah penderitaan panjang yang tak berujung? Tidak ada jawaban
pasti yang dapat disimpulkan, namun di kepala kita masing – masing akan selalu
ada ruang yang berhasrat untuk menjawabnya. Mari kita kembali melihat konsep
absurd, dari bahasa Latin absurdus. Ab-surdus
yang berarti tuli, atau bodoh. Menurut kamus, absurd berarti demikian dan
terjemahannya sebagai berikut:
“Absurd
is having no rational or orderly relationship to human life: meaningless (an
absurd universe). Lacking order or value (an absurd existence). absurdism is a
philosophy based on the believe that the universe is irrational and meaningless
and that the search for order brings the individual into conflict with the
universe”.
Dengan begitu, kita
dapat melihat absurd sebagai hal yang tidak rasional dalam hubungannya dengan
kehidupan manusia: tiada artinya (alam/dunia absurd). Ketidakbermaknaan atau
tidak berharga (eksistensi absurd). Absurdisme adalah sebuah filosofi
berdasarkan kepercayaan bahwa alam semesta adalah tidak rasional dan tidak
berarti dan bahwa pencarian makna membawa seseorang ke dalam konflik dengan
alam.
Bagaimana pun, konsep
yang sebelumnya telah dituliskan bukanlah kesimpulan yang baik. Hanya berupa
ringkasan dan sebuah penggambaran dangkal yang mungkin juga bersifat absurd.
Selanjutnya, kita patut untuk membaca sejumlah cerita pendek absurd karya Maggie
Tiojakin yang berjudul “Selama Kita
Tersesat di Luar Angkasa”. Saya pun menyukai sejumlah penggambaran dari
cerpen yang ditulis perempuan kelahiran 10 Maret itu. Selain itu, Maggie
Tiojakin sering menerjemahkan karya-karya klasik ke dalam Bahasa Indonesia. Karya
pengarang besar seperti Edgar Allan Poe, Anton Chekhov, Ernest Hemingway, dan
masih banyak lainnya. Maggie Tiojakin bahkan menjalankan sebuah situs bernama
FIKSI LOTUS. Situs yang menghadirkan atau lebih tepatnya “menghadiahkan” cerita
– cerita pendek klasik dunia yang telah dia terjemahkan untuk para pembaca
Indonesia.
Pilihan Magie Tiojakin
untuk menggambarkan hal – hal absurd dalam bukunya mungkin sebuah pesan
tersirat. Kita diberikan kesempatan untuk menyelami kesia-siaan, namun tak
sepenuhnya seperti itu. Masih ada jalan – jalan kosong yang belum kita sentuh
dengan utuh. Konsep absurd selalu dapat kita pecahkan dengan penalaran yang
kita miliki masing – masing. Namun, hal yang menarik dalam buku itu adalah
pernyataan Maggie di akhir bukunya. Dia menyatakan bahwa dalam tulisannya dia
tak berniat untuk menginspirasi, melainkan bertanya. Saya percaya, bahwa setiap
dari kita memiliki pertanyaan yang sulit untuk dibahasakan dengan jelas, maka
mari kembali melihat diri kita masing – masing. Mempertanyakan kesia-siaan kita
sebelum menyimpulkan kebermaknaan kita. Sebut saja, catatan ini tak begitu
bermakna, semuanya bersifat absurd.
*Tulisan ini dimuat dengan beberapa revisi dari redaktur di Koran Harian Fajar, Kolom Budaya, 8 Februari 2015. Tulisan yang saya posting agak berbeda dengan yang telah dimuat.
Post a Comment: