Sehari Sebelum April (2)
Saya menyenangi Maret, namun tidak berbuat apa-apa yang berarti di bulan ini. Beberapa hal telah saya pikirkan namun mati dan hilang sia-si...
Saya menyenangi Maret, namun tidak berbuat apa-apa yang berarti di bulan ini. Beberapa hal telah saya pikirkan namun mati dan hilang sia-sia dengan mudah, ini kesalahan saya yang gagal menahan dan mengendalikan diri dengan baik. Itu penyakit psikis yang berbahaya, dan patut untuk dimusnahkan. Jika tidak, maka saya sendiri yang akan musnah secara diam-diam.
Sehari sebelum April, saya ingin menuliskan beberapa hal tentang bulan ini dan bulan April.
1. Sore tadi, saya menyempatkan diri untuk berlari, sebut saja berolahraga bersama seorang kawan, setelah seharian hanya menikmati suasana rumah, suasana kamar dan buku-buku yang berantakan. Itu menyenangkan untuk menutup Maret, sesekali kita butuh waktu memperhatikan kesehatan dengan menyempatkan waktu berolahraga. Bukan hanya berolahrasa, atau berolahpikir.
2. April bagi sebagian orang mungkin akan mencemaskan, para caleg tengah berdoa agar janji-janjinya mampu ditepati. Mungkin ada janji yang entah ada atau hanya sebatas kenangan. Beberapa menit yang lalu, saya menyempatkan waktu menonton tv dan melihat berbagai media memprediksikan bahwa akan ada banyak caleg yang nantinya menjadi penghuni RSJ. Prediksi yang kejam tapi saya setuju dengan itu. Dari sana, saya atau kita bisa belajar banyak tentang psikologi.
3. Menjelang bulan keempat di tahun 2014, semakin terasa jika waktu benar-benar percaya diri dan selalu menikam diri kita yang lalai dengan pilihan yang tidak menjelaskan kejelasan.
4. Segelas kopi yang menahan kantuk, mungkin tidak akan sia-sia jika didampingi dengan sejumlah catatan dan bacaan yang layak dilahap otak kita. Membaca lebih baik dari pada menonton, di Bulan Maret ini saya lebih banyak menonton daripada membaca, menyedihkan bukan?
5. Saya merasa masih belum kuat untuk menerima kehilangan, menerima ketiadaan, sedang hidup tidak hentinya menawarkan semua itu. Mungkin saya harus lebih banyak belajar dari Biografi orang sukses dan orang yang tidak dikatakan sukses. Atau mungkin, saya harus mencari pemikiran Marx, Locke, Voltaire, Adam Smith, Spinoza, Hobbes, John Stuart Mill, Kant, Friedrich Engels. Konon, nama-nama itu, dekat di kepala Hatta, Syahrir, dan Soekarno.
Poin kelima tadi, terinspirasi dari catatan seorang kawan yang dia share di facebook. Baru saja, saya mencatatnya di kertas lain, dan menyelipkannya di buku agenda saya. Dari catatan yang tidak kebetulan saya baca itu, saya mengutip satu paragraf tentang Syahrir, yang merupakan peninggalan ungkapan yang terkenal dari beliau.
"Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan"
Ungkapan ini menjadi bahan bakar semangat dalam jejak langkah perjuangan/hidup Sjahrir, nasehat itu disitirnya dari sastrwan Jerman Friedrich Schiller, sebuah lagu dengan judul Das Reiterlied (lagu penunggang kuda).
Sumber di sini |
***
Ada baiknya, jika kita bersiap dan memantaskan diri untuk mempertaruhkan hidup dan menemukan kemenangan di jalan kita masing-masing. Setiap orang punya kekalahan dan kemenangannya, Tuhan telah menciptakan keseimbangan dalam dunia ini. Tapi terkadang, saya salah mengartikan atau menjalani keseimbangan yang harusnya terjaga.
Catatan ini saya hadirkan, sebagai bagian dari kado ulang tahun untuk Ibu saya, yang akan mengulang hari lahirnya besok. Saya ucapkan terima kasih pada teman-teman facebook yang menyempatkan menuliskan saran untuk hadiah ibu saya. Saya berpikir, tersenyum saat membaca komentar-komentar itu. Dan sekarang, saya merasa, hadiah terbaik untuk Ibu adalah kesadaran dan keyakinan bahwa saya akan menjadi anak yang baik untuk Ibu saya yang selalu baik untuk anak-anaknya.
Sehari sebelum April, saya merasa bukan anak yang baik untuk Ibu saya. Selanjutnya, saya akan berusaha untuk menjadi anak yang baik. Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan rahmat kepadamu, melimpahkan kebahagiaan, kesyukuran, dan segala kesenangan jiwa yang tak terbatas. Amiin.
Makassar, 31 Maret 2014
Post a Comment: