Antara Pendidikan dan Korupsi
Meskipun telah hadir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta organisasi-organisasi yang bergerak pada fokus pemberantasan korupsi, tetap s...
Meskipun telah hadir Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) serta organisasi-organisasi yang bergerak pada fokus pemberantasan
korupsi, tetap saja kasus demi kasus terkait korupsi bermunculan. Data per 30
September 2013 menyatakan bahwa di tahun 2013 KPK melakukan penyelidikan 65
perkara, penyidikan 51 perkara, penuntutan 27 perkara, inkracht 25 perkara, dan
eksekusi 32 perkara. Korupsi mungkin tidak pernah libur di Indonesia, dengan
mudahnya kita dapat menemukan pemberitaan terkait kasus korupsi di media cetak
hingga online.
Pertanyaan kunci
dalam kasus korupsi adalah bagaimana sehingga korupsi tetap bertahan kokoh
bahkan terus berkembang di Indonesia? Esais asal Inggris, Charles Caleb Colton
mengatakan bahwa “Corruption is like a ball of snow, once it's set a rolling
it must increase”. Korupsi itu ibaratnya bola salju, setelah menggelinding
akan terus dan terus membesar. Mungkin itulah yang terjadi di Indonesia saat
ini.
Survey yang
dirilis pada Selasa 8 Juli 2013, oleh Lembaga Transparency Internasional
Indonesia (TII) melansir bahwa posisi Indonesia berada di empat negara terbawah
dalam urutan tingkat korupsi. Berdasarkan indeks persepsi korupsi yang
dilansirnya Indonesia berada di angka 32. Indeks persepsi korupsi ini merupakan
indikator gabungan yang mengukur tingkat persepsi korupsi dari negara-negara.
Dalam survey yang dilakukan TII Indonesia menempati urutan 118 dalam urutan
negara terkorup, dan Indonesia berada di bawah Thailand (urutan 88) dan
Filipina (urutan 108). Sedangkan tiga negara dibawah Indonesia antara lain
Vietnam, Laos, Myanmar.
Mental
Koruptor
Indonesian
Corruption Watch (ICW) mencatat dalam kurun waktu tiga tahun antara 2010 hingga
2013 tercatat 756 terdakwa kasus korupsi. Namun sayangnya, hanya 5 terdakwa
yang divonis di atas 10 tahun. 35 kasus terdakwa yang divonis 5 sampai 10
tahun. 217 terdakwa yang divonis 2- 5 tahun. 167 terdakwa yang divonis 1 sampai
2 tahun. 185 terdakwa yang divonis 1 tahun.
143 terdakwa bebas dan 4 vonis percobaan. Data tersebut memperlihatkan bahwa hukuman
yang diperoleh oleh pelaku yang telah mencuri uang negara dengan jumlah besar
hanya mendapatkan hukuman penjara yang tidak sebanding dengan kerugiaan yang
diakibatkan. Vonis yang diterapkan masih terbilang rendah dan tidak akan
menimbulkan efek jera bagi para pelaku maupun calon pelaku.
Tentu, seorang
koruptor akan membentuk konsep diri yang baru terkait perilakunya sendiri.
Ketika melakukan tindak kejahatan korupsi, individu tersebut akan mendapatkan
keuntungan yang diinginkan pelaku. Contohnya saja, mendapatkan harta berlimpah,
status yang membaik, jabatan dan lain-lain. Jika berdasarkan teori yang
dikemukakan oleh B.F Skinner, salah seorang tokoh psikologi behaviorisme, hal
tersebut akan menjadi sebuah reinforcement. Reinforcement atau penguat
melahirkan konsep bahwa individu akan cenderung untuk mengulangi perilakunya
jika diikuti dengan konsekuensi-konsekuensi yang diinginkan.
Bagi seorang
koruptor, apa yang telah didapatkan dari perilakunya akan menjadi kepuasan
tersendiri, sesuatu hal yang menyenangkan. Selama tidak ada hukuman yang tepat
atau penegakan hukum ditingkatkan, perilaku itu akan terus berulang dan tentu
akan menjadi sebuah Reinforcement atau penguat untuk terus melakukan
berbagai upaya untuk korupsi. Penguatan tersebut dapat dihilangkan dengan
melakukan hukuman atau punishment yang tepat. Menurut Axelrod &
Apsche, Parke, terdapat lima hal yang menjadikan hukuman lebih efektif.
Pertama, hukuman
diterapkan sesegera mungkin. Dapat kita saksikan penanganan korupsi cenderung
lambat dan berlarut-larut. Waktu yang digunakan terlalu lama akan melemahkan
dan seakan-akan kurang mendapatkan respon dari aparat hukum. Kedua, hukuman
yang diberikan harus cukup berat untuk memberikan efek jera. Tentu pelaku yang
mencuri uang negara, miliaran hingga triliunan tidak akan mengalami efek jera
jika hanya divonis rendah dengan masa tahanan 2 atau 5 tahun. Sesuai dengan
teori Ramirez Torres bahwa korupsi
adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan (crime of calculation) bukan hanya
sekedar keinginan (passion). Seseorang akan melakukan korupsi jika hasil
(Reward) yang didapat dari korupsi lebih tinggi dari hukuman (Penalty) yang didapat
dengan kemungkinan (Probability) tertangkapnya yang kecil.
Ketiga, hukuman
harus ditetapkan secara konsisten. Dengan mudahnya pelaku korupsi mampu
terbebas dari dakwaan, kalaupun mendapat hukuman tentu hanya hukuman ringan.
Belum ada konsistensi hukuman yang tepat untuk koruptor. Keempat, menjelaskan
maksud hukuman. Hukuman akan menjadi lebih efektif jika alasan dari hukuman
tersebut dipaparkan. Misalnya, hukuman mati yang beralasan atau memiskinkan
koruptor dengan merampas seluruh hasil korupsinya.
Terakhir,
menyelesaikan sumber masalah. Korupsi terjadi bukan karena pelaku miskin, tapi
mendapatkan peluang dan kurangnya kontrol diri yang ada. Lebih kepada faktor
psikologis pelaku, sehingga pengambil kebijakan patut untuk mempertimbangkan
hukuman psikologis. Sekaligus akan membangun mental masyarakat dalam memerangi
korupsi. Peluang tersebut sesuai dengan
teori dari Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of
power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion
of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (minus
accountability), menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi.
Membangun Transparasi
Pada tahun 2003 Brunetti dan Weder mempublikasikan
hasil penelitiannya dengan judul “A free press is bad news for corruption” menunjukkan
bahwa keberadaan pers mampu menciptakan proses transparansi dan berhasil
mengurangi kasus korupsi di dunia. Akan tetapi hal terpenting dari pemberantasan
korupsi tidak cukup pada transparansi, melainkan sesuai dengan penelitian dari
Svensson pada tahun 2005 menyatakan bahwa pendidikan menjadi kunci utama
melawan korupsi. Kemampuan transparansi akan menjadi baik saat pendidikan
diutamakan. Kepedulian bersama, kemarahan kolektif masyarakat perlu dibangun
untuk memberantas korupsi.
Bila dipandang dari segi psikologis, guna mendukung
transparansi masyarakat membutuhkan pendidikan yang mampu meningkatkan daya
asertif masyarakat. Perilaku yang merupakan pengungkapan pikiran, kebutuhan,
pendapat yang dilakukan secara bijaksana, adil, serta penuh keyakinan diri,
tepat dan tegas, bertanggung jawab. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang
dibenahi akan menjadi titik awal dalam melakukan perubahan, termasuk melawan korupsi.
Mengutip pesan Nelson Mandela bahwa "Education is the most powerful
weapon which you can use to change the world." Mari Lawan Korupsi!
Tulisan ini dimuat pada Kolom Opini, Tribun Timur Makassar, Sabtu, 18 Januari 2014
1 comments :
Semoga kebaikan dengan massa kecil dapat mengalahkan kebusukan besar suatu hari nanti wan.
Reply