Resiliensi dalam Interaksi Sosial
Untuk kawasan Asia Tenggara, HIV menjadi masalah kesehatan publik yang paling utama. Dengan perkiraan 3,6 juta orang dengan HIV/AIDS (O...
Untuk kawasan Asia Tenggara, HIV menjadi
masalah kesehatan publik yang paling utama. Dengan perkiraan 3,6 juta orang
dengan HIV/AIDS (ODHA), Asia Tenggara adalah kawasan kedua di dunia yang paling
terpengaruh. Terdapat sekitar 260.000 orang yang baru terinfeksi HIV dan
300.000 kematian yang berhubungan dengan HIV pada tahun 2007. Lima negara –
India, Thailand, Myanmar, Indonesia dan Nepal – merupakan mayoritas dari beban
regional ini. Kasus HIV tertinggi terjadi di antara para pekerja seks dan klien
mereka, lelaki yang berhubungan dengan sesama jenis, dan para pengguna jarum
suntik narkoba.
Di Indonesia, sejak pertama kali
ditemukan tahun 1987 sampai dengan Maret 2013, HIV-AIDS tersebar di 348 (70%)
dari 497 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali
ditemukan adanya kasus HIV-AIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan yang terakhir
melaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011.
Saat ini kondisi Makassar patut
menjadi perhatian. Selama 2012, ditemukan 1.101 penderita baru virus mematikan
itu. Dinas Kesehatan Kota Makassar mencatat jumlah pengidap HIV/AIDS akhir 2012
sebanyak 5.119 orang. Jumlah tersebut meningkat drastis dibanding data
penderita HIV/AIDS Kota Makassar pada 2011 sebanyak 4.018 orang. Setiap tahun
jumlah pengidap HIV/AIDS di Makassar rata- rata meningkat 1.000 orang.
Interaksi
Sosial
Walgito
menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan antara individu satu
dengan yang lainnya, individu satu dapat mempengaruhi individu lain atau
sebaliknya, sehingga terdapat hubungan saling timbal balik, hubungan tersebut
dapat terjalin antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan
kelompok.
Tentunya
kita harus menyadari bahwa pada penderita HIV/AIDS atau ODHA membutuhkan
interaksi sosial yang nantinya dapat membangun sebuah kepercayaan diri dan
optimism untuk menjalani kondisi yang ada. Namun sayangnya, masyarakat
terkadang menciptakan stigma negatif terhadap para penderita. Hal tersebut akan
menjadi beban psikologis yang malah akan memperparah kondisi kesehatan
penderita.
Kondisi
tersebut disebabkan oleh ketakutan yang kemudian menimbulkan kecemasan, bahwa
penyakit tersebut belum dapat disembuhkan. Dan juga masalah moril penderita
yang kadang dikaitkan dengan seks bebas dan penyalagunahan obat terlarang,
penyakit itu dianggap seperti kutukan dari Tuhan dengan alasan bahwa ODHA
(Orang dengan HIV/AIDS) merupakan yang telah melanggar aturan agama.
Resiliensi
Diskriminasi
seperti itu sekiranya dapat dikikis dengan cara memastikan bahwa hak-hak ODHA
dapat terpenuhi. Tentu saja, bila kondisi tersebut dibiarkan maka akan
memberikan tekanan atau stress pada penderita. Dalam dunia
psikologi, dikenal sebuah istilah yang disebut Resiliensi. Grotberg dalam
bukunya yang berjudul “A Guide To Promoting Resilience” mendefinisikan
resiliensi sebagai kapasitas yang bersifat universal. Individu, kelompok ataupun
komunitas memiliki kapasitas tersebut untuk mencegah, meminimalisir ataupun
melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah.
ODHA
dapat menemukan resiliensi dengan adanya dukungan sosial, yang nantinya
memberikan sebuah kekuatan untuk lebih optimis dan yakin untuk dapat mengatasi
atau menerima kondisi yang dialami. Setidaknya, dengan adanya resiliensi pada
ODHA dapat memperbaiki keadaan agar tidak terus menerus berada pada posisi yang
disudutkan.
Dukungan
sosial merupakan faktor penting dalam mengurangi stress. Pierce (Kail and
Cavanaug, 2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional,
informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang- orang di sekitar
individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-
hari dalam kehidupan. Diamtteo (1991) mendefinisikan dukungan sosial sebagai
dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, tetangga,
teman kerja dan orang- orang lainnya.
Sarafino
menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang
lain, merawatnya atau menghargainya. Pendapat senada juga diungkapkan oleh
Saroson (Smet, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah adanya
transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada
individu lain, dimana bantuan itu umunya diperoleh dari orang yang berarti bagi
individu yang bersangkutan.
Dukungan
sosial dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi
yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa
diperhatikan, bernilai, dan dicintai. Hal tersebut sangat diperlukan oleh ODHA
agar mereka bisa berbesar hati dan tetap menjalankan aktivitasnya, mengingat
sebetulnya mereka memang masih punya banyak waktu sebelum sakit.
Masyarakat
seringkali tidak sadar telah menyikapi AIDS dengan cara yang salah. Mereka lupa
bahwa ODHA juga manusia biasa yang punya perasaan, punya keluarga dan punya
keinginan-keinginan untuk berkarya dan mencapai sesuatu dalam hidupnya. Oleh
karena itu, mereka tidak bisa dikucilkan begitu saja seperti masyarakat pada
zaman dahulu mengucilkan penderita kusta dalam suatu lembah terpencil untuk
menanti ajalnya dalam komunitas mereka. Mereka justru harus didukung untuk
dapat melanjutkan dan menikmati hidupnya seperti juga kita semua.
______
______
Tulisan ini diterbitkan pada Koran Harian Fajar pada kolom Opini, 1 Desember 2013
Post a Comment: