Menawan Melawan Badai Salju

Di saat sebagian besar beristirahat selepas Culture Show, aku dan Adit menyusun rencana untuk berkeliling di downtown. Menikmati sisa waktu yang tersisa, di tambah salju yang mulai memutihkan segalanya.  

“Kita menikmati hari-hari terakhir bro” kata si Abang None Jakarta 2011 itu.

Namun, pas saat kami keluar rumah, salju mulai turun lebat. Seluruh jalan semakin dipenuhi salju. Seluruhnya menjadi putih, atap rumah putih, dan tentunya angin menambah rasa dingin. Rute perjalanan di mulai dari rumah menuju Vallue Vilage. Kami tertahan sekitar beberapa menit, badai salju terus menjadi-jadi. Dari dalam kami melihat keluar, pemandangan yang tidak akan kami dapatkan di Indonesia tentunya.   

Ada sedikit kesamaan antara aku dan Bang Adit, senang memeluk memiliki buku. Maka, di Vallue Vilage kami terus berputar-putar di daerah deretan lemari buku. Sesekali mencari benda lain, tapi lebih lama di habiskan dengan memilih dan memerhatikan deretan buku. Pada akhirnya, kami menggerus isi dompet untuk membeli buku. Beberapa buku akan mengisi koper kami, aku dan Adit sudah mengumpulkan cukup banyak buku untuk di bawah pulang ke Indonesia.

“Gimana Wan? Badai sudah berhenti, keluar yuk!”
“Kemana bang?”
“Kita makan, saya pusing nih. Lapar. Kamu mau makan apa Wan?”
“Yang pake Nasi!”
“Ok, Thai Food”

Kami melanjutkan langkah menuju restoran Thailand setelah badai salju mereda. Sekitar empat menit kami berjalan sambil bercerita meninggalkan Vallue Village, tiba-tiba badai salju kembali. Angin berhembus, tubuh kami menggigil namun kami tertawa. Melihat pemandangan ini, seolah kami tak peduli dengan badai. Sepatu kami sudah tenggelam di telan salju, mestinya kami menggunakan sepatu khusus salju.

Jarak yang cukup jauh dari Value Village menuju Thai Food, sekitar 10 menit di hantam angin, di telan salju. Namun itu tak jadi masalah, terlanjur perjalanan di mulai. Aku dan Adit berlomba-lomba menyembunyikan tangan kami, menengelamkannya dalam-dalam di kantong jaket. Sesekali kami singgah di tempat yang menarik untuk take a picture. Sebagai upaya mengabadikan masa dalam gambar, sekaligus menjaga kenangan di badai salju.

Tibalah kami di Restoran Thailand. Kami memasan menu segera, dingin telah membuat kami lapar berkali lipat. Mulai dari menunggu pesanan hingga makanan di habiskan, aku menjadi pendengar yang rajin bertanya. Topiknya beragam, tentang Indonesia, pemerintah, cinta, rindu, beasiswa luar negeri hingga bagian paling menarik adalah si Abang None itu menceritakan alur perjalanannya hingga menjadi Abang None  Jakarta 2011.

“Kenapa kamu bisa jadi Abang None?”
“Gak tahu gue, tiba-tiba gue yang menang!”
Satu kesimpulan penting yang menjadi hadiah dari ceritanya, untuk menjadi yang terbaik, lakukan saja yang sebenarnya, dengan Tulus.  

Sebelum kami keluar dari restoran itu, kami kembali memperhatikan kondisi. Salju cukup jinak, maka kami melanjutkan lagi perjalanan mengelilingi kota. Hingga tangan kami mulai mati rasa karena dingin. Maka, kami memutuskan untuk mencari tempat untuk menghangatkan diri. Diputuskanlah “BOOKMAN”, sebagai persinggahan selanjutnya.

Kami di kepung buku dan hangat yang menyenangkan. Di luar kembali badai, maka kami punya alasan untuk berlama-lama.  Di BOOKMAN, ada banyak buku-buku yang menarik. Di rak buku Psikologi, buku-buku Sigmund Freud berjejeran rapi. Tebal tipis, seluruhnya tersedia. Melihat salju mulai reda, kami kembali keluar untuk memulai perjalanan. Namun, tepat saat kami menutup pintu BOOKMAN dan keluar di jalan, badai salju kembali menghadang. Pandangan menjadi putih, tak jelas.  


“Wah, sepertinya kita sudah di takdirkan main badai salju Wan”

“Hahahah, ya sudah. Ayo jalan”
“Mau ke mana?”
“Ente mau ke mana?
“Ke Victoria Park yuk”
“Serius?”
“Dekat kok dari sini”
“Ok deh”

Sepanjang perjalanan menuju Victoria Park tak ada orang yang lalu lalang, bahkan kendaraan jarang yang terlihat. Kondisi sekitar tak jelas seluruhnya putih di hantam badai.
“Sepertinya di Kota ini ada zombie, semuanya penduduknya sudah di bunuh”
“iya, tinggal kita berdua”

Kami mulai mengarang cerita bersama. Jika ada mobil yang lewat, pasti orang di dalam mobil itu akan memperhatikan kami. Aku dan Adit terlihat bodoh, di badai salju terus berfoto dan tertawa. Menertawakan kekonyolan asing-masing. Hingga sampai di Victoria Park, kami saling melempar bola salju atau mengambil foto bersama. 


Halo, Saya Wawan Kurniawan. Terima kasih telah berkunjung.

2 komentar:

  1. seperti bocah2 yg bermain di tengah derasnya hujan... ^^
    tidak ada cemas akan sakit... yg ada hanya ingin menikmati kebesaran Tuhan...dengan senyum bahagia...
    ^^
    let's play like a child anywhere anytime... \(^_^)/

    BalasHapus
  2. Pengalaman yang indah dan tak kan terlupakan Wan :)

    BalasHapus