“Apakah
kau benar-benar memilih mati muda?”
Seorang
lelaki tua dengan kaos merah terang yang tak kukenal menepuk bahu kananku.
Lelaki tua itu sama sekali tak pernah kutemui sebelumnya. Ia bercelana kain
hitam dan terlihat agak longgar. Ia juga menggunakan tas hitam seperti yang
pernah kugunakan lima tahun lalu saat kuliah mengambil gelar doktor di
Universitas Pennsylvania. Sebagian rambutnya mulai memutih dan membuatku berani
mengatakan bahwa ia pantas untuk kusebut lelaki tua. Namun dari sisi
penampilan, ia masih terlihat begitu muda.
“Aku
ingin menceritakanmu sebuah rahasia!” tegasnya.
Saat
mendengarnya melontarkan kalimat itu, kami berdua sedang duduk di bangku taman
kota. Hari itu, aku baru saja mengantar Lania ke sekolahnya, gadis kecilku yang
masih berusia delapan tahun. Hari itu aku tak sedang punya jam mengajar di
kampus dan kuputuskan untuk menikmati indahnya pagi kota Makassar. Saat si
lelaki tua melontarkan kalimat itu, aku teringat pada kalimat pembuka dongeng
yang kuceritakan pada Lania tiga malam yang lalu. Aku juga memulai dengan kalimat
yang serupa, “Lania, akan kuceritakan kau sebuah rahasia!” Dengan segera Lania
menutup tubuhnya dengan selimut merah muda hadiah ulang tahunnya.
Pagi
itu, aku merasa tiba-tiba menjadi seperti Lania. Lelaki tua itu hendak
menceritakan sesuatu yang sungguh ingin kudengarkan. Belum lagi, ia menyapaku
dengan kalimat tanya yang sepuluh tahun lalu pernah kulemparkan pada diriku
sendiri. Sehari setelah aku menyelesaikan buku Eksistensialisme dan Humanisme
dari Jean-Paul Sartre, aku semakin yakin ingin memilih mati muda. Tapi, dengan
hadirnya Lania, aku berharap dapat melihatnya tumbuh menjadi seorang gadis yang
menawan dan dermawan. Aku dipenuhi rasa penasaran yang tak seperti biasanya. Di
kelas, aku terbiasa mendengar pertanyaan-pertanyaan yang biasa dan itu-itu saja.
Berbeda dengan pagi ini, di taman kota yang baru saja dibenahi setelah walikota
terpilih dilantik tiga minggu lalu.
Lelaki
tua itu melepas tas punggungnya, lalu menaruh tas tersebut di pangkuannya. Ia
memandangiku dengan mata yang penuh rasa ingin tahu, barangkali ia menungguku
untuk menjawab pertanyaannya tadi.
Pagi
itu, sebelum berangkat ke sekolah bersama Lania, Nufo baru saja memarahiku
lantaran aku menghilangkan buku catatan kesayangannya. Aku tak
menghilangkannya, hanya saja aku membiarkan Lania untuk membaca jurnal harian
ibunya dan ia lupa mengembalikannya padaku. Aku memberi Lania hadiah setelah ia
menyelesaikan buku keempatnya di bulan Februari, The Yearling dari Marjorie
Kinnan Rawlings. Lania selalu ingin tahu isi kepala ibunya. Cita-cita Lania
begitu sederhana, ia hanya ingin bisa seperti ibunya. Apalagi, Lania melihat
ibunya selalu menang saat berhadapan denganku, ia ingin belajar mengalahkan
laki-laki. Dan seperti itulah, aku selalu memilih diam sehabis mendengar Nufo
marah dengan suara melengking yang selain menyiksa telinga dan jiwa.
“Apakah
kau benar-benar memilih mati muda?” lelaki tua itu kembali bertanya setelah
beberapa saat sebelumnya kami terdiam. “Aku yakin, kau baru saja mendengar
istrimu berceramah!” Dan aku tersenyum mendengarnya. Lelaki tua itu ikut
tersenyum.
“Apakah
kau masih menyukai Soren Kierkegaard?”
“Kebenaran
itu masih tentang subjektivitas,” jawabku. Mendengar jawabanku, lelaki tua itu
membuka tas dan memasukkan tangan kanannya, lalu menarik sesuatu. Sesuatu itu
belum ia keluarkan, tarikannya berhenti dan ia kembali bertanya, “Kemarin, aku
baru saja membaca buku kumpulan esaimu, Sepi Manusia Topeng dan membuatku
segera datang menemuimu di sini! Aku ingin memberimu sesuatu tapi…” lalu ia
kembali memasukkan tangan kanannya ke dalam tas. “Tapi…kau belum menjawab
pertanyaanku!” protesnya. Aku sama sekali tak tertarik dengan sesuatu yang ada
di dalam tasnya. Namun aku tertarik dengan pertanyaan serta pernyataannya.
Aku
memandang langit biru dan mencari awan yang seakan menghilang pagi itu. Sambil
menatap jauh menuju langit, aku menjawab pertanyaannya dengan rasa ragu dalam
hati. Tetapi, aku merasa wajib untuk menjawab lelaki tua itu dengan keyakinan
yang sebenarnya. Di langit, kucari senyumku yang dulu pernah menanti kematian
dengan penuh rasa suka cita. Kutarik napas panjang lalu kuembuskan dengan
pelan, dan kujawab, “Aku tak lagi ingin muda seperti dulu!”
“Bukankah
kau pernah percaya jika jiwa tak mengenal usia?”
“Jiwaku
bukan sesuatu yang cukup berguna untuk kita diskusikan pagi ini.”
Kami
melihat kendaraan lalu lalang, kuperhatikan lelaki tua itu masih menyimpan
sesuatu di dalam tasnya. Mungkin buku, pikirku. Aku terbiasa menerima hadiah
berupa buku, termasuk jika hadiah itu disebut sebagai kejutan. Bersama Lania,
aku tengah menyusun rumah kecil yang terbuat dari buku-buku di kamarnya. Namun,
aku tak yakin jika rumah kecil itu akan selesai lantaran Nufo tentu saja akan
protes dengan tindakan kami berdua. Lalu jika benar lelaki tua ini kembali
menghadiahkan buku, aku berniat untuk menjadikannya bagian dari rumah kecil
yang dinginkan Lania itu. Tapi lelaki tua menarik tangan kanannya tanpa
mengeluarkan apa-apa.
“Apa
kau masih percaya jika hujan akan jatuh meski langit terlihat seperti
sekarang?”
Aku
mengangguk. Lelaki tua itu kembali memasukkan tangan kanannya lalu mengeluarkan
sebuah buku catatan berwarna cokelat tua. “Apa kau masih ingat saat kau tengah
menerjemahkan cerpen Jorge Luis Borges, dan kau membayangkan peristiwa itu
terjadi di hidupmu?”
Aku
telah menerjemahkan beberapa buku dari penulis Argentina itu dan menikmati
cerpen-cerpen spekulasi filsafatnya. Namun aku sedikit lupa dengan keinginan
seperti yang lelaki tua itu ceritakan.
Aku
lalu teringat sesuatu dan segera kulontarkan pertanyaan pada lelaki tua itu,
“Apakah kau adalah aku? Jika benar, aku sudah paham apa yang hendak kau
sampaikan. Juga sesuatu yang ingin kau berikan itu. Semua ini benar-benar
pernah ada di pikiranku dan aku menceritakan keinginanku pada Lania di suatu
malam yang panjang. Bagaimana kabarku di masa depan?”
“Kau
berhenti menulis setelah karyamu diterjemahkan dalam puluhan bahasa. Kau
berhasil menjadi seorang dekan beberapa tahun ke depan dan menjadi menteri di
suatu kabinet yang dipimpin oleh kader partai dengan warna yang sama dengan
kaosku ini.” Ia menunjuk kaosnya yang tanpa kusadari memudar.
“Mengapa
warna baju kaosmu tak seterang tadi?”
“Kau
tak perlu bertanya pada diriku saat ini. Hanya aku yang ingin memberimu
sejumlah pertanyaan. Juga tentang Lania….” saat ia menyebut nama Lania aku
langsung memotongnya dan bertanya, “Apakah Lania masih bisa melihat masa depan
saat ia beranjak dewasa?” Ia menangguk lalu tersenyum. “Lania bahkan sudah
pernah melihat kejadian ini jauh sebelum kita bertemu” Aku tak akan pernah
mampu menolak kemungkinan itu, pasalnya Lania benar-benar memiliki bakat yang
belum pernah kutemukan dalam cerita atau genre magical realism sekalipun.
Sehingga, ketika lelaki tua itu bercerita tentang Lania, seketika aku percaya
pada perkataannya. “Lalu apa yang
dilakukan Lania saat ia beranjak dewasa?”
“Ia
menulis cerita yang bukan hasil murni dari gagasannya sendiri. Ia lebih banyak
menulis pengalaman masa depan yang benar-benar menakutkan juga menganggumkan
baginya. Namun ia penulis yang baik dibandingkan dirimu. Dan di luar sana, barangkali
ada sejumlah orang yang membaca tulisan Lania yang diterbitkan di koran
ternama. Lalu menjadikan kita berdua benar-benar ada.”
Dan
lonceng kelas berbunyi keras, para siswa berlarian keluar istirahat sementara
Lania, melalui jendela kelasnya, memandangi langit dan mencari awan yang seakan
menghilang pagi itu.
*Cerpen ini pertama kali dimuat di Narazine, 23 Oktober 2017.
*Cerpen ini pertama kali dimuat di Narazine, 23 Oktober 2017.
Wah, keren kak 👐
ReplyDelete