Hari
itu saya membaca karya Haruki Murakami, “The Wind-Up Bird Chronicle” dan salah
seorang dosen datang menghampiriku. “Baca buku apa Wan?” belum sempat saya
menjawab, ia kembali berkomentar “Wah, novel? Saya tidak suka baca novel.” Saya
tersenyum saja dan melanjutkan membaca buku itu. Itu bukan kali pertama saya
mendengar pernyataan serupa. Teman saya sendiri pun mengatakan hal yang tak
jauh beda dengan dosen saya itu. Ia mengaku bahwa tak penting untuk membaca
novel.
Saya
tidak akan memasang data statistik tentang bagaimana perilaku orang Indonesia
akan aktivitas membaca. Sudah sangat sering kita mendengar jikalau bangsa ini
dikenal dengan minat baca yang rendah. Barangkali beberapa pernyataan dari
teman dan dosen saya menjadi bagian dari data statistik itu. Di kampus sekali
pun, masih sulit melihat pemandangan yang semestinya. Melihat para pelaku
akademik membaca, berdiskusi dan memberikan rekomendasi buku bacaan yang
menarik. Kadang kala mereka hanya terfokus pada teori dalam kelas. Teman-teman
psikologi saya sendiri, ada banyak yang enggan membaca novel dengan alasan
banyaknya teori kepribadian yang lebih penting untuk dibaca. Lebih baik
menghafal sederet teori dari Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Skinner, Abraham
Maslow, dan sejumlah teori dari tokoh psikologi lainnya.
Padahal
jika mereka membaca biografi para tokoh psikologi itu secara lebih mendalam, kita
akan menemukan satu kebiasaan yang kadang diabaikan di kelas. Bahwa mereka,
para penemu teori besar dari psikologi adalah para pembaca fiksi yang luar
biasa. Bahkan seorang B.J Habibie pun, mengaku senang membaca karya-karya Fyodor
Dostoyevsky. Pada kesempatan lain, Neil Geiman memiliki pengalaman menarik tentang
bacaan fiksi yang dijelaskan dalam kuliahnya di the reading agency di London. Neil Geiman menjelaskan pengalamannya
di tahun 2007 saat mengikuti sebuah kegiatan di Cina. Kegiatan itu berupa
konferensi fiksi ilmiah dan fantasi yang pertama kalinya dilakukan sepanjang
sejarah peradaban Cina.
Neil
Geiman pun bertanya, mengapa kegiatan ini mesti dilakukan? Jawaban yang
diterimanya menarik. Cina adalah negara yang mampu menciptakan sesuatu asalkan
rancangan benda atau produk tersebut ada. Namun Cina, sulit menciptakan sesuatu
yang brilian dan berinovasi. Mereka hanya meniru dan menciptakan apa yang telah
ada sebelumnya. Akhirnya Cina mengutus delegasi mereka ke sejumlah perusahaan
seperti Apple, Microsoft, dan Google. Pada akhirnya mereka menemukan setelah
mengkaji secara mendalam bahwa sejumlah penemuan itu dipengaruhi oleh bacaan
fiksi semasa mereka kanak-kanak. Sebab fiksi adalah ruang yang memberikan
kesempatan pembaca untuk menemukan dunia lain yang berbeda. Selain itu bagi
Neil Geiman, membaca fiksi adalah escapism.
Membaca fiksi dapat menjadi sebuah pelarian bagi pembaca. Seperti itulah cerita
dari Neil Geiman.
Saya
rasa bangsa Indonesia pun butuh menciptakan kesadaran yang sama dengan Cina.
Bagaimana pun membaca adalah masalah yang kurang diperhatikan di bangsa ini.
Padahal perilaku membaca mampu memberikan banyak efek pada perkembangan
kehidupan. Apalagi membaca bacaan fiksi. Saya berharap tidak banyak komentar
miring tentang membaca novel atau bacaan fiksi lainnya. Tapi faktanya, saya
sulit menemukan orang yang masih bersedia meluangkan waktunya untuk membaca
lebih banyak buku. Padahal, seorang pakar psikologi kognitif bernama Keith
Oatley dari University of Toronto
menjelaskan hasil dari penelitiannya bahwa bacaan fiksi dapat meningkatkan
empati seseorang dan mengembangkan Theory of Mind. Oatley mengatakan bahwa, “Ketika
kita membaca tentang orang lain, kita bisa membayangkan diri kita berada pada
posisi mereka. Itu memungkinkan kita untuk lebih memahami orang lain."
Sejujurnya
saya merasa kecewa melihat seorang calon psikolog dan dosen yang notabene wajib
lebih peka dan berempati terhadap kehidupan menolak menerima
kemungkinan-kemungkinan dari sebuah bacaan. Atau barangkali ia tidak punya
waktu lantaran sibuk dengan sejumlah proyek yang lebih menghasilkan banyak uang
dan banyak kepastian. Membaca tak dianggap sebagai kemewahan yang sangat
dibutuhkan perasaan dan pikiran. Tak ada waktu untuk membaca lantaran dianggap
tidak penting. Baiklah, saya tutup tulisan ini dengan mengutip salah satu pesan
dari buku yang saya baca waktu itu. “Spend
your money on the things money can buy. Spend your time on the things money
can’t buy.” Dengan membaca novel, ada banyak hal yang kita dapatkan bahkan
sesuatu yang tak dapat didapatkan dengan uang.
*Diterbitkan di Literasi Tribun, Senin 7 Agustus 2016
Saya baru membaca tulisan ini, padahal pertama kali saya melihatnya di Tribun, 7 Agustus pagi. Memang, membaca itu penting seperti yang Anda katakan di atas, tetapi sulit sekali menghadirkan sebuah bacaan yang menarik bagi pembaca, terutama bagi mereka yang merasa dijejali oleh pekerjaan yang menumpuk. Salah satu pekerjaan yang ringan, saya pikir, ya, membaca fiksi. Dan Murakami ternyata memberikan imajinasi yang cukup untuk itu. Semoga semangat membaca Anda menular, dengan banyak menulis di blog ini. Saya suka. MgP
ReplyDelete